Senin, 16 Mei 2022

Potret Buram Hukum Lingkungan

  • Oleh Fransisca Emilia
VONIS bebas bagi PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan presiden direkturnya (SM, 25/4) dari dakwaan pencemaran dan perusakan lingkungan Teluk Buyat, tidak terlalu mengejutkan. Bahkan hal itu sudah bisa diprediksi sebelumnya, terlebih jika melihat kinerja pemerintah dalam menangani kasus tersebut.
Sejak penandatanganan perjanjian damai RI-Newmont awal tahun lalu di kantor Menko Kesra berkait dengan pencabutan gugatan perdata dan kesedian PT NMR membayar ganti rugi 30 juta dolar AS, sikap pemerintah semakin melunak. Perjanjian itu juga membuat Newmont terbebas dari tuntutan perdata 117,68 juta dolar AS sebagai ganti rugi material dan Rp 150 miliar untuk kerugian immaterial.
Pernyataan KLH yang berubah-ubah sudah mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah untuk mengungkap ketidakadilan bagi warga Teluk Buyat dan lingkungan hidup. Terlebih pascaperjanjian itu, Abu Rizal Bakrie menyatakan bahwa pemerintah belum tentu menang jika tuntutan dilanjutkan.
Kelemahan dan ketidakseriusan pemerintah yang kedua juga terlihat lewat alasan yang membuat PT NMR dan presiden direkturnya lepas dari jerat hukum pidana. Yakni data pencemaran yang diajukan jaksa penuntut umum berbeda dari data penelitian lainnya.
Kita tentu masih ingat tragedi Buyat yang mencuat beberapa tahun silam, tetapi saat ini kembali tenggelam oleh berbagai kasus lingkungan dan musibah lainnya. Sebanyak 266 warga Buyat Pante terpaksa meninggalkan kampung halaman dan pindah ke permukiman baru Duminaga. Sebab setelah PT NMR membuat pipa sepanjang 10 km dan membuang limbah ke Teluk Buyat, tempat tinggal mereka berubah seperti kawasan penampung limbah. Warga terserang bermacam penyakit seperti TBC, ISPA, lipoma, demetitis, dan cepholgia.
Lebih sayang lagi, pemerintah tidak mampu atau tidak mau membuktikan pencemaran itu dengan data yang akurat. Yang tersisa tinggal penderitaan rakyat kecil dan kerusakan lingkungan hidup di balik gemerlapnya industri pertambangan.
Tentu, itu semua tidak terlepas dari lemahnya penegakan UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau lazim disebut UULH. Memang benar bahwa sengketa lingkungan berkait dengan kerugian perdata bisa diselesaikan lewat jalur di luar pengadilan. Dalam kasus Newmont, berdasarkan Pasal 30-33 UULH, pemerintah dan pihak yang bersangkutan bisa melakukan negosiasi berkait dengan pelaksanaan ganti rugi yang akhirnya keluar nilai 30 juta dolar AS. Namun berdasarkan pasal-pasal tersebut pula, ganti rugi tidak serta-merta mengubah atau memengaruhi proses hukum pidananya. Apalagi, fakta di lapangan menujukkan bahwa aktivitas pembuangan limbah oleh PT NMR telah mengakibatkan kerusakan sangat fatal di Teluk Buyat. Bahkan telah jatuh korban jiwa.
Seharusnya, pemerintah lewat lembaga peradilan bersungguh-sungguh menangani kasus tersebut. Terlebih, nilai ganti rugi 30 juta dolar AS bagi PT NMR yang menguasai tambang emas itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Bagi mereka, mungkin nilai ganti rugi itu hanya nol koma sekian persen dari keuntungan yang bisa diperoleh. Karena itu, agar pencemaran tidak terulang kembali dan demi kedaulatan negara, penegakan Pasal 40 berkait dengan ancaman pidana 10 tahun penjara bagi pencemaran yang tidak mengakibatkan korban jiwa dan 15 tahun jika pencemaran sangat parah dan muncul korban jiwa, harus benar-benar dijalankan. Pidana itulah, yang bakal membuat semua pihak jera atau takut, minimal berhati-hati dalam mengeksploitasi lingkungan.
Instrumen penegakan hukum yang kita miliki sebenarnya sudah cukup. Namun kembali lagi, maukah kita bersungguh-sungguh melaksanakannya. Tentu jika mau, kasus Newmont, Freeport, dan yang terbaru Lapindo Brantas, tidak akan terjadi. Jika itu terus berlanjut, mitos bahwa negara kita adalah negara sejuta bencana, semakin menjadi kenyataan. Yang lebih parah lagi, sektor ekonomi lain seperti perikanan laut justru akan semakin terpuruk.
Bila kita mengacu Pasal 33 UUD 45 yang menyebutkan bahwa sumber daya alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tentu akan muncul pertanyaan, sudahkah amanah itu terwujud? Kita tidak perlu menggunakan indikator yang terlalu rumit. Masyarakat sekitar yang tinggal di lokasi suatu sumber daya alam merupakan indikator yang paling mudah. Apakah mereka bisa hidup sejahtera dengan pengeksploitasian sumber daya alam itu atau justru harus terusir, menderita, serta hidup dalam kemiskinan dan pencemaran. Jika mereka saja tidak makmur, bagaimana mungkin eksploitasi sumber daya alam itu bisa menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia?

Senin, 29 April 2013

Kerja Sama Air antara Hulu dan Hilir

"Tentu sangat logis bila pengguna sumber daya air di hilir membayar kepada penyedia jasa lingkungan"





 PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan tahun 2013 sebagai Tahun Kerja Sama Air Internasional melalui Resolusi A/RES/65/154 pada akhir 2010. Sejalan dengan penetapan tersebut, Hari Air Sedunia diperingati tiap tanggal 22 Maret, dan tahun ini mengambil tema yang sama, yaitu ''Kerja Sama Air''.

Air dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari daerah aliran sungai (DAS) yang merupakan satuan ekosistem yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung. Daerah tersebut menerima dan mengumpulkan air hujan, kemudian mengalirkannya menuju satu outlet. Batas alam yang berupa punggung-punggung gunung menyebabkan air dari satu DAS tidak mengalir ke daerah aliran yang lain, dan seluruh permukaan daratan merupakan bagian dari DAS. 

Dengan demikian, sebuah daerah aliran sungai tidak dibatasi oleh batas administratif suatu daerah, tapi oleh batas ekologis. Sebuah daerah aliran sungai kecil bisa jadi terletak hanya pada sebuah kabupaten, sebaliknya banyak daerah aliran sungai terletak pada beberapa kabupaten, provinsi, bahkan negara. 

Salah satunya adalah Sungai Nil, salah satu sungai panjang yang melintasi sembilan negara, yaitu Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania, Rwanda, Burundi, Sudan, dan Mesir.

Dampaknya, daerah aliran sungai lintas batas tersebut acap memicu konflik, bahkan perang antarpengguna. Sebut saja konflik antara Mesir/ Sudan dan negara-negara yang berada di hulu Nil, antara Bangladesh dan India atas Sungai Gangga, atau antara Slovakia dan  Hongaria atas Sungai Donai.

Di Indonesia, sengketa pengelolaan sumber daya air dan DAS sering terjadi pada daerah aliran sungai lintas kabupaten atau provinsi, bahkan antarpengguna sumber daya air dalam DAS satu daerah. Contoh sengketa antara Subak Yeh Gembrong dan PDAM di Tabanan dan antara Subak Gede Eka Tani dan PDAM di Buleleng Bali.

Kemudian, perebutan sumber mata air antardesa di Garut Jabar, dan konflik pengelolaan sumber daya air untuk pariwisata antara dua desa yang merupakan perbatasan Kabupaten Semarang dengan Kabupaten Kendal. Yang masih hangat dalam ingatan kita, konflik antara Pemkot Solo dan Pemkab Klaten atas mata air Cokro Tulung.

Kerja Sama Pengelolaan

Penyebab konflik terkait pengelolaan air tersebut karena tidak ada kerja sama antarpemangku kepentingan dalam kawasan daerah aliran sungai. Tiap pihak hanya mengutamakan kepentingan masing-masing,  terutama dalam memanfaatkan sumber daya air, tanpa memedulikan jaminan keberadaan dan kualitas sumber daya itu memerlukan pengelolaan yang terpadu dari hulu. 

Untuk menjamin fungsi penyerapan air hujan, idealnya daerah hulu ditutupi oleh hutan. Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, dalam satu daerah aliran sungai sedikitnya 30% wilayah berupa kawasan hutan dengan sebaran proporsional. 

Kenyataannya di Indonesia, terutama di Jawa, daerah hulu sungai bukan lagi kawasan lindung yang menjadi wewenang pemerintah. Hampir tiap jengkal tanah menjadi milik pribadi sehingga lebih sulit untuk menjamin daerah tersebut tetap berupa hutan. Daerah hulu umumnya merupakan desa-desa yang jauh dari pusat pemerintahan dan kurang tersentuh pembangunan. 

Tingkat kesejahteraan warga di daerah itu rendah dengan kapasitas SDM yang relatif rendah pula. Umumnya masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Karena desakan perekonomian dan pertambahan penduduk, sementara mereka tidak punya keterampilan lain, lahan-lahan dengan kelerengan tinggi yang semula berupa hutan rakyat dikonversi menjadi lahan pertanian tanaman pangan. 

Kerusakan hutan dan lingkungan di daerah hulu menyebabkan eksternalitas negatif bagi daerah hilir. Sebaliknya, jika kelestarian daerah hulu terjaga akan menyebabkan eksternalitas positif dengan terjaganya stabilitas tata air pada seluruh bagian daerah aliran sungai. Karena itu, pengelolaan sumber daya air tidak dapat dilakukan secara parsial, harus ada kerja sama pengelolaan dari hulu ke hilir. 

Para pihak yang berkepentingan harus bersama-sama menyusun program agar semua pihak memperoleh manfaat yang adil atas sumber daya air. Tentu sangat logis bila pengguna sumber daya air di hilir membayar kepada penyedia jasa lingkungan, dalam hal ini masyarakat di daerah hulu, guna menjamin kelestarian hulu DAS demi keterjagaan pasokan dan kualitas air. 

Pembayaran oleh pengguna sumber daya air digunakan untuk rehabilitasi atau membiayai program yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat daerah hulu. Dengan demikian ada sinergi antara hulu dan hilir, serta semua pihak memperoleh manfaat secara adil. 

Secara mudah, pembayaran yang adil bagi penyedia jasa lingkungan bisa dihitung dari banyaknya kerugian yang diderita bila daerah hulu rusak. Contohnya, ketika terjadi banjir di DKI Jakarta, kerugian mencapai Rp 32 triliun (Okezone, 30/1/13). Lain cerita bila dilakukan kerja sama antara Jakarta dan Bogor yang merupakan hulu sungai-sungai yang mengalir di Jakarta. 

Jakarta membayar sepertiga saja dari kerugian tersebut untuk mendanai program-program pelestarian dan penyelamatan daerah hulu. Tentu bencana dapat dihindari dan semua pihak memperoleh manfaat yang adil atas sumber daya air. Tahun Kerja Sama Air Internasional dan Hari Air Sedunia ini merupakan saat tepat untuk membenahi pengelolaan DAS pada semua lini, sekaligus menggalang kerja sama air secara terpadu, dari hulu sampai hilir. 
dimuat di Suara Merdeka tanggal 23 Maret 2013

Jumat, 11 Mei 2012

Sampah Tanggung Jawab Produsen

"Masyarakat dituntut kritis dengan memilih produk dari produsen yang bertanggung jawab terhadap sampah produksinya"

BANJIR karena sampah menggunung hingga menyumbat saluran air seperti terjadi di Bandung baru-baru ini (antaranews, 13/04/12) seolah-oleh menjadi perkara lumrah dan tidak mengejutkan. Berita yang sama pasti pernah kita baca dan dengar dari berbagai media tiap musim hujan. Sampah, terutama bagi kota-kota besar adalah masalah kronis yang sulit ditangani. Bahkan, permasalahannya meningkat dari waktu ke waktu.

Penduduk yang makin banyak dan gaya hidup konsumtif menjadi sumber utama sampah di perkotaan. Di kota metropolitan tiap orang rata-rata menghasilkan 0,35 liter sampah per hari. Artinya, dengan jumlah penduduk mendekati 10 juta, Jakarta menghasilkan sampah 33.627 m3/ hari, Surabaya 10.509 m3, Bandung 8.382 m3, dan Semarang 5.446 m3/ hari. Dari jumlah tersebut, sepertiganya sampah anorganik, yang tidak mudah terurai oleh proses alam.

Pengelolaan sampah perkotaan, sebagian besar masih menggunakan metode konvensional, yaitu kumpulkan, angkut, dan timbun di tempat pembuangan akhir (TPA). Akibatnya, daya tampung tempat pembuangan itu makin menurun sehingga menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Pencemaran lingkungan dan kesulitan mencari lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah menjadi masalah sulit bagi pemkot/ pemkab.

Berbagai upaya sudah dilakukan, misalnya mendirikan pengolahan sampah terpadu ataupun pengelolaan sampah berbasis teknologi. Pada tingkat masyarakat, berbagai kalangan sudah aktif mengampanyekan dan melakukan upaya pengurangan lewat konsep 3R, yaitu reduce, reuse, dan recycle. Namun upaya itu  belum menampakkan hasil signifikan, volume sampah terus bertambah tiap hari.

Mengapa? Tanggung jawab siapa sebenarnya penanganan sampah? Perkotaan umumnya dicirikan oleh jumlah penduduk yang tinggi dan merupakan daerah pertumbuhan ekonomi sehingga pendapatan per kapitanya pun lebih tinggi dari pedesaan. Peningkatan perekonomian warga, mendorong peningkatan konsumsi barang baru yang lebih mutakhir.

Adalah tanggung jawab produsen untuk memastikan bahwa barang yang diproduksinya dapat dimusnahkan tanpa mencemari lingkungan. Produsen tak hanya memproduksi barang, namun dari awal sudah mendesain cara pemusnahannya sehingga tidak membebani lingkungan.
Insentif Prolingkungan

Tanggung jawab produsen diatur dalam Pasal 14 dan 15 UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Produsen wajib mencantumkan label yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan produknya. Kemasan dan barang produksi yang tak dapat atau sulit terurai oleh proses alam jadi tanggung jawab produsen untuk mengelolanya.

Bukannya tidak ada produsen yang sudah mendesain produk dan kemasannya agar tidak menjadi beban bagi lingkungan. Misalnya produsen minuman dalam kemasan botol kaca. Biasanya mereka bersedia membeli kembali kemasan untuk dipakai ulang setelah melewati proses pembersihan.

Contoh lain adalah produsen yang membina usaha kecil untuk memanfaatkan kemasan produk yang dihasilkannya sebagai bahan baku industri rumah tangga. Namun, jumlah produsen semacam itu masih sangat kecil di tengah membanjirnya produk konsumsi.

Semestinya pemerintah bisa mendorong upaya-upaya itu melalui regulasi dan kebijakan yang tepat. Termasuk memberikan insentif kepada produsen yang bertanggung jawab terhadap sampah yang diproduksi melalui pengurangan pajak atau pemberian label tertentu. Sebaliknya, produsen yang mengabaikan tanggung jawabnya memperoleh sanksi setimpal.

Edukasi terhadap masyarakat sebagai konsumen penting dilakukan. Masyarakat dituntut bertindak kritis dengan memilih produk dari produsen yang bertanggung jawab terhadap sampah produksinya.
Dengan demikian ada pembagian tanggung jawab penanganan sampah antara produsen, pemerintah, dan konsumen.

dimuat di Suara Merdeka

Rabu, 28 Maret 2012

Kampanye ’’Kaliku, Bandhaku’’

”Mengatasi permasalahan sungai dengan melibatkan semua komponen agar secara aktif ikut melestarikan sungai menjadi pekerjaan rumah”


UNSUR pencemaran sungai, baik berupa limbah industri, rumah tangga, maupun material sedimentasi masih terus terjadi di semua sungai di Indonesia. Ambil saja contoh kasus pencemaran sungai-sungai di wilayah Semarang.  Beberapa pihak, misalnya perusahaan yang memiliki instalasi pengolahan limbah (IPAL), acapkali secara sembunyi-sembunyi membuang langsung limbahnya ke sungai, demi efisiensi dan menekan ongkos produksi.

Di sisi lain, pencemaran dari rumah tangga juga berlanjut. Pemukiman yang terus berkembang di Semarang atas atau daerah tangkapan air, seperti wilayah kota atas, Ungaran, dan daerah dataran tinggi  Kabupaten Kendal. Dampaknya, lumpur yang terbawa ke sungai-sungai di Semarang makin banyak. Sedimentasi tinggi akhirnya membuat kali-kali itu makin menciut.

Mengatasi permasalahan sungai dengan melibatkan semua komponen agar secara aktif ikut melestarikan sungai, menjadi pekerjaan rumah hingga kini belum bisa diselesaikan oleh pemerintah dan pihak yang peduli terhadap lingkungan. Selama ini, banyak upaya telah dilakukan baik lewat regulasi maupun kampanye namun tetap saja pencemaran sungai berlanjut.

Ditilik dari unsur regulasi atau kampanye, ada hal yang kurang, salah satunya hitungan soal imbal jasa lingkungan. Regulasi banyak berbicara mengenai kewajiban perusahaan untuk memiliki IPAL dan mengolah limbah menjadi minim pencemaran sebelum membuangnya ke sungai. Regulasi ini baik, namun masih sebatas mengatur kewajiban pengusaha. Bagaimana dengan keuntungan yang bakal mereka dapatkan jika ikut menjaga kelestarian sungai lewat pemanfaatan IPAL secara maksimal?

Aset Berharga

Menengok kondisi tersebut, patut kiranya dicanangkan kampanye baru ’’Kaliku, Bandhaku’’, yang artinya sungaiku adalah hartaku yang berharga.
Tentu saja hal ini tidak hanya sebatas slogan kosong tetapi didukung regulasi tentang imbal jasa lingkungan. Semisal rumah tangga dekat bantaran sungai mendapat potongan tarif penggunaan air PDAM jika ikut melestarikan sungai. Jika itu menyangkut perusahaan, akan mendapat potongan pajak jika memfungsikan IPAL secara maksimal.      

Dengan kampanye ”Kaliku, Bandaku” dan regulasi pendukungnya, tentu stakeholder yang berkait dengan pemanfaatan sungai, seperti warga dan perusahaan benar-benar merasakan dampak langsung atas pelestarian sungai. Daerah penyangga pun mendapat manfaat berupa kompensasi imbal jasa lingkungan jika tetap melestarikan dan merehabilitasi daerah tangkapan air.

Bagaimana dengan keuntungan pemerintah, dalam hal Pemkot Semarang? Tentu saja, jika kampanye itu berhasil, kebutuhan air baku untuk air minum tercukupi. Sebab, air sungai yang mengalir di Kota Semarang mudah diolah menjadi air minum dengan biaya lebih murah. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Moedal dapat menjangkau pelanggan yang lebih banyak dengan ongkos produksi lebih murah. Hal ini akan mendatangkan keuntungan yang signifikan. Konflik pengelolaan sungai juga berkurang.

Terlebih saat ini Pemkot menggalakkan penggunaan layanan PDAM bagi perusahaan besar, termasuk hotel, restoran, dan industri yang notabene butuh banyak air. Jika kampanye dan regulasi ini dijalankan, Semarang menjadi contoh pengelolaan sungai dalam skala lebih luas. Jika tidak dimulai sekarang, kapan lagi sungai benar-benar lestari dan bisa menjadi bandha (harta berharga) bagi Semarang.

dimuat di Suara Merdeka, 3 Januari 2012

Selasa, 03 Maret 2009

AS dan Realisasi Pengurangan Emisi

ERA baru selalu membawa harapan baru. Begitu pula dengan AS dengan kepemimpinan presiden yang baru Barack Obama. Harapan Dunia terhadap perubahan sikap AS terkait kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya pun mulai muncul. Begitu pula dengan negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
 

Harapan itu bukanlah hal semu, paling tidak jika dilihat dari gebrakan awal pemerintahannya, dalam hal ini Departemen Luar Negeri AS di bawah komando Hillary Clinton yang lebih ''demokratis".
 

Beberapa perjalanan politik pun dia lakoni, termasuk ke Indonesia, sebagai pembuka sebuah hubungan yang lebih baik lagi. Tentu hal tersebut tidak lepas dari upaya AS untuk memulihkan hubungan diplomatik di berbagai bidang yang sempat ''terganggu'' saat pemerintahan dijalankan George W Bush.
 

Janji Barack dengan jajarannya untuk lebih akomodatif dalam rangka mengembalikan citra negara adi kuasa tersebut, tentu bagaikan gayung bersambut. salah satunya tentu soal pemulihan catatan hitam Dunia terhadap AS terkait pencemaran lingkungan.
 

Hingga kini, Negeri Paman Sam memang dipandang minir sebagai penyumbang pencemaran emisi karbon tersebar. Hal itu diperparah dengan sikap keras kepala negara itu menolak berbagai perjanjian untuk mengatasi masalah tersebut. Padahal, sumbangan emisi AS telah mempercepat kerusakan dunia.
 

Menurut LSM Gerakan Rakyat Lawan Neo-Kolonialisme-Imperialisme (Gerak Lawan) sebagaimana dilansir berbagai media, metode produksi kapitalistik Amerika Serikat menjadi penyebab utama pemanasan global.
 

Sampai saat ini, 20% penduduk dunia bertanggung jawab atas 60% limbah emisi di udara. Dari jumlah itu, sumbangan emisi gas karbon masyarakat AS 4-5 kali lebih besar dari rata-rata sumbangan masyarakat dunia.
 
Protokol Kyoto
 

Ingatan kita soal Protokol Kyoto yang ditolak AS tentu masih hangat. Ketika itu, berlangsung KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992. Dalam pertemuan, lahirlah kesepakatan untuk mengatasi perubahan iklim dengan salah satu poinnya, menekan pencemaran emisi karbon.
 

Seluruh negara peserta pun telah meratifikasi dan mulai memberlakukannya tahun 1994. Saat itu, juga dibentuk IPCC, lembaga yang menaungi ilmuwan-ilmuwan untuk meneliti penyebab perubahan iklim.
 

Salah satu rekomendasinya, dalam pertemuan COP-3 (1997) menyepakati Protokol Kyoto memuat langkah pengendalian emisi karbon dan menetapkan aturan yang mengikat secara hukum,  terutama bagi negara industri. Proses itu berlanjut dan mulai Februari 2005 Protokol Kyoto berlaku.
 

Dalam protokol, sasaran pengendalian emisi hanya negara maju yang dianggap sumber pencemaran dengan proses industrialisasi. Sebab berdasar penelitian IPCC,  pada masa prarevolusi industri (sebelum 1750) emisi karbon udara menghasilkan CO2 280 ppm dan pascaindustri naik menjadi 375 ppm (2003). Akibatnya, suhu Bumi naik  0,4 derajat celsius.
 

Meski tujuan Protokol Kyoto begitu mulia, dua negara industri AS dan Australia tidak ikut meratifikasinya. Mereka tidak mau terikat secara hukum terkait pembatasan emisi karbon.
 

Sebab hal itu  akan memengaruhi kondisi industri negara dan konsekuensi dana yang sangat besar, terkait peremajaan serta modernisasi alat industri agar emisi karbon berkurang. Penolakan dua negara itu membuat pengaturan 40 persen emisi negara industri tidak masuk Protokol Kyoto. Hal itu terus berlanjut hingga Protokol Kyoto akan berakhir 2012.  Sikap AS pun tidak berubah. 
Meski demikian, upaya berbagai negara, termasuk Indonesia untuk memengaruhi negara-negara industri tidak surut. Sebagai salah satu dari 8 negara pemilik hutan terbesar, Indonesia menginisiasi kelanjutan Protokol Kyoto.

 

Akhirnya bergabunglah 11 negara yang mendorong langkah tersebut dalam bentuk pertemuan lanjutan di Bali. Dalam COP-13 Konferensi Bali Desember 2007 lahir kesepakatan tentang peta alur jalan (roadmap) menuju ke Denmark (2009), dengan salah satu agenda dukungan negara Industri, termasuk AS untuk menekan emisi karbon lewat penyelamatan hutan dunia .
 
Perubahan Sikap
 

Dalam Roadmap Bali, ada beberapa perubahan sikap negara-negara penentang Protokol Kyoto. Australia misalnya, selain menerima kesepakatan yang awal yang akan disempurnakan dalam pertemuan di Denmark (2009), negara itu membuat komitmen bantuan dengan pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan hutan-hutan  Indonesia.
 

Salah satunya, rehabilitasi hutan gambut Namun sikap Amerika, meski agak berubah, tetap tidak menargetkan hasil konvensi yang mengikat secara hukum, seperti halnya Protokol Kyoto. AS juga menerapkan prasarat akan mengikuti hasil kesepakatan baru Roadmap Bali, asalkan India dan China ikut menandatanganinya.  
 

Penyempurnaan Roadmap Bali yang sudah semakin dekat di Denmark tahun ini, dan perubahan pemerintahan AS patut ditindaklanjuti, terlebih oleh Indonesia yang selama ini giat melakukan mitigasi untuk mewujudkan program nyata pengurangan emisi karbon.
 

Di satu sisi, AS di bawan kepemimpinan Barack Obama butuh pengakuan-pengakuan dunia dan mengangkat ’’citra’’ negara, di sisi lain Indonesia butuh dukungan kuat AS agar program penurunan emisi karbon lewat pemulihan hutan benar-benar menjadi tanggung jawab semua negara di dunia. Dua kepentingan yang saling menguntungkan itu sebenarnya sudah sangat tepat untuk dijalankan. Terlebih, itu juga akan menghilangkan citra buruk AS sebagai perusak lingkungan.
 

Sebuah peluang mungkin tidak akan pernah terulang lagi. Begitu juga dengan pintu diplomasi AS yang kini tengah terbuka lebar di bawah eksekutor Hillary Clinton. Karena itu, perlu pendekatan yang lebih intensif lagi untuk mewujudkan kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan sehingga program pengurangan emisi karbon terwujud. Termasuk, dukungan riil finansial negara-negara Industri bagi negara pemilik hutan, melalui AS.
 

Memang saat itu telah ada semacam ’’janji’’ negara industri mengenai bantuan rehabilitasi hutan demi kepentingan bersama (dunia). Namun hingga sekarang, belum banyak janji yang terealisasi. Janji itu kini kandas sampai tahap mitigasi.
Mungkin, dengan merangkul pemerintahan baru Amerika itulah Indonesia dapat lebih berperan dalam upaya pengurangan emisi global. Sebab, tidak dapat dipungkiri, AS masih negara yang sangat, bahkan paling berpengaruh untuk menentukan arah kebijakan dunia yang di dalamnya mencakup realisasi pengurangan emisi karbon

Jumat, 09 Januari 2009

Ego Energi vs Kelestarian Hutan

KEBUTUHAN sumber energi dewasa ini tak bisa dihindari telah menjadi kebutuhan primer bagi seluruh umat manusia di dunia. Energi, terutama sebagai bahan bakar, merupakan hal yang tiap hari dicari. Mesin-mesin industri, sarana trasportasi, bahkan rumah tangga, bergantung kepada alat-alat penopang hidup yang membutuhkan energi agar bisa beroperasi.
Ketika penduduk semakin banyak, tentu kebutuhan energi juga meningkat, baik yang berbahan bakar fosil maupun nabati. Sebagai ilustrasi, kebutuhan akan energi listrik di Pulau Jawa saja masih sulit terpenuhi. Dengan daya mampu netto 18.406 megawatt (MW), sistem Jawa-Bali memiliki pembangkit sebanyak 216 unit. Selain pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik yang memasok daya ke sistem tersebut adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 8.740 MW.

Kemudian pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) 5.985 MW, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 1.483 MW, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 774 MW, dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) 66 MW.

Dibanding dengan tingkat kebutuhan yang terus bertambah, pasokan pembangkit-pembangkit itu kini kurang mencukupi alias defisit. Jika terjadi kerusakan atau keterlambatan bahan bakar, pasti terjadi pula pemadaman. Kalau pun tidak, pasti diterapkan pembatasan-pembatasan yang berbuntut pada pengurangan aktivitas industri. Seperti terjadi pada pertangahan tahun lalu, terjadi gangguan pasokan daya listrik di PLTU Paiton Unit 7, Jatim, berdaya 600 MW milik PT Paiton Energy Company (PEC) sejak Selasa (19/6/ 2008); PLTU Cilacap Unit 2, Jateng, 300 MW; dan PLTGU Cilegon, Banten, sekitar 100 MW, karena perawatan dan lain-lain.

Kebutuhan energi itu belum termasuk kebutuhan transportasi, listrik pulau-pulau besar lain (25%), kebutuhan nasional, dan kebutuhan langsung industri. Pemenuhan kebutuhan energi pun kini menjadi panglima utama yang terus digenjot, terutama dengan mengandalkan batubara. Setelah menjadi pemasok utama energi serta lewat pemerintah melalui kebijakan energi nasional dengan mencanangkan PLTU 10 ribu MW, Peraturan Presiden (Perpres) 71/2006 dan 72/ 2006, dan baru saja dijamin dengan Perpres 91/2007, membuat eksploitasi batubara semakin gencar.

Hutan Dikorbankan

Tentu memacu program pemenuhan energi, terutama batu bara, akan membawa dampak yang cukup berat. Hutan pun rusak. Kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektare (ha) setiap tahun. Kerusakan itu kini mencapai 40 persen atau 50 juta ha, dan membutuhkan 25 tahun untuk memulihkannya.

Salah satu penyebab utama kerusakan hutan, terutama di Kalimantan, adalah kegiatan ekplorasi batubara. Ribuan hektare hutan kembali rusak. Bahkan kerusakan hutan di Kalimantan Timur telah mendatangkan bencana. Wilayah Balikpapan yang semula tak pernah dilanda bencana, tahun lalu diterjang banjir. Samarinda juga demikian. Terakhir, banjir menerjang Kabupaten Kutai Kertanegara. Pemkab Kutai Kertanegara mengakui bahwa bencana itu timbul akibat kerusakan hutan dan tambang batubara. Bahkan 315 dari 705 kuasa pertambangan batubara Kaltim ada di kabupaten tersebut (Kompas, 6/1).

Ancaman atas kelestarian hutan juga datang dari upaya pemenuhan energi lewat bahan bakar nabati (biofuel). Lewat Peraturan Menteri ESDM No 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain, disebutkan mulai Januari 2009 badan usaha pemegang izin usaha bahan bakar diwajibkan menjual BBN, yakni biodiesel minimal satu dari jumlah konsumsi bahan bakar transportasi public service obligation (PSO) dan transportasi non-PSO.

Kewajiban terus bertambah hingga 25% pada 2025. Berkait dengan kewajiban itu, Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Jakarta, Sabtu (6/12/2008),  

menegaskan, pemerintah telah meminta percepatan kewajiban menggunakan BBN, setidaknya mulai Januari 2009. Volume wajib penggunaan crude palm oil (CPO)/ sawit yang kini hanya 1,2 juta ton harus ditingkatkan menjadi 2,5 juta ton sesuai dengan kapasitas industri dalam negeri.

Saat ini, dari 18 juta ton CPO produk dalam negeri, 4,5 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri non-BBN. Sisanya untuk ekspor dan kebutuhan BBN terbatas. Padahal tanpa peraturan tersebut, hutan Kalimantan juga rusak akibat sawit.
Berdasar pemantauan lembaga Save Our Borneo, laju kerusakan hutan (deforestasi) Kalimantan telah mencapai 864 ribu ha/tahun, yang 80 % di antaranya akibat pembukaan lahan sawit. Paling parah terjadi di Kalimantan Tengah, mencapai 256 ribu ha/tahun.

Padahal Indonesia dalam Deklarasi Sidney hasil forum APEC 2007 telah berkomitmen untuk menyelematkan hutan Kalimantan. Sebagai imbal balik, Indonesia mendapatkan komitmen bantuan 20 juta dolar AS dan 100 juta dolar Australia. Direncanakan, hutan dalam kawasan APEC bisa bertambah hingga 20 juta hektare sampai dengan 2020, perbaikan kawasan hutan gambut Kalimantan, penyelamatan 70 ribu hektare hutan rawan dan menanam 100 juta pohon baru. Bantuan itu akan bertambah, karena tidak termasuk program pengurangan emisi rumah kaca hingga 30 tahun ke depan.

Dalam tataran itulah sikap mendua timbul. Di satu sisi, ingin memenuhi kebutuhan energi, baik lewat pertambangan fosil maupun lewat pengembangan biodisel (sawit); di sisi lain hutan perlu diselamatkan. Padahal, eksploitasi tambang batubara ataupun pengembangan sawit telah terbukti justru merusak hutan. 

Tidak adakah cara lain yang bisa dilakukan untuk pemenuhan energi tanpa merusak hutan? Toh, Indonesia kaya akan energi matahari, angin, gelombang air laut, panas bumi, dan lain sebagainya, yang lebih ramah lingkungan?

Bukankah kerusakan hutan pun telah terbukti mendatangkan kerugian yang tidak dapat dinilai, sebab berkait dengan keselamatan jiwa manusia? Kalaupun tidak bisa dihindari, adakah pemetaan yang jelas tentang tata guna lahan yang lebih mengutamakan kelestarian hutan?

Semua itu kembali kepada kebijakan dan perencanaan nasional terpadu, yang pada akhirnya akan menentukan pemenuhan energi dan kelestarian hutan. Tentu, jika diminta untuk memilih, kita akan mengutamakan keselamatan jiwa dengan mempertahankan hutan yang tersisa, bahkan  merehabilitasi hutan-hutan yang sudah rusak.

 dimuat di Suara Merdeka tanggal 8 Januari 2009

Selasa, 24 Juni 2008

Menggugat PP 2/2008 tentang Kehutanan

KERUSAKAN hutan, alih fungsi hutan, dan pembalakan liar, sudah tidak asing lagi bagi kita. Biasanya setelah isu-isu itu mencuat, banjir di kala hutan longsor dan kekeringan segera menyusul.

Untuk mengatasinya, kita harus menelusuri kembali titik-titik kelemahan dalam pengelolaan hutan di negeri ini. Salah satu yang perlu kita gugat dan soroti adalah aturan-aturan dasar serta legal yang menjadi benteng penyelamatan hutan.
Sudahkah aturan-aturan itu benar-benar menjamin kelangsungan hutan tersebut?

Pemberitaan gencar di media massa dan kampanye kelompok-kelompok yang peduli terhadap kondisi kehutanan negara kita dan menjadi isu global memang telah membahana. Terlebih kondisi kehutanan yang menjadi salah satu komponen penting bagi kelangsungan hidup kita kini terancam. Bahkan kerusakan hutan, berdasarkan data Walhi, mencapai 3,5 juta hektare per tahun telah menjadi salah satu pemicu pemanasan global.

Namun sayang, saat isu lingkungan dan global warming mulai populer di berbagai kalangan, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang sama sekali tidak populer.

Februari lalu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) 2/2008 tentang tarif pemanfaatan hutan diluar kegiatan kehutanan, termasuk pertambangan.Dijelaskan bahwa tarif pemanfaatan hutan itu berkisar antara Rp. 1.200.000 sampai Rp. 2.400.000 per hektare atau hanya 120 sampai 240 rupiah per meter kubik. Baca selengkapnya>>>>>>>>>>>>


dimuat di  Suara Merdeka tanggal 11 Juni 2008