Senin, 16 Mei 2022

Potret Buram Hukum Lingkungan

  • Oleh Fransisca Emilia
VONIS bebas bagi PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan presiden direkturnya (SM, 25/4) dari dakwaan pencemaran dan perusakan lingkungan Teluk Buyat, tidak terlalu mengejutkan. Bahkan hal itu sudah bisa diprediksi sebelumnya, terlebih jika melihat kinerja pemerintah dalam menangani kasus tersebut.
Sejak penandatanganan perjanjian damai RI-Newmont awal tahun lalu di kantor Menko Kesra berkait dengan pencabutan gugatan perdata dan kesedian PT NMR membayar ganti rugi 30 juta dolar AS, sikap pemerintah semakin melunak. Perjanjian itu juga membuat Newmont terbebas dari tuntutan perdata 117,68 juta dolar AS sebagai ganti rugi material dan Rp 150 miliar untuk kerugian immaterial.
Pernyataan KLH yang berubah-ubah sudah mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah untuk mengungkap ketidakadilan bagi warga Teluk Buyat dan lingkungan hidup. Terlebih pascaperjanjian itu, Abu Rizal Bakrie menyatakan bahwa pemerintah belum tentu menang jika tuntutan dilanjutkan.
Kelemahan dan ketidakseriusan pemerintah yang kedua juga terlihat lewat alasan yang membuat PT NMR dan presiden direkturnya lepas dari jerat hukum pidana. Yakni data pencemaran yang diajukan jaksa penuntut umum berbeda dari data penelitian lainnya.
Kita tentu masih ingat tragedi Buyat yang mencuat beberapa tahun silam, tetapi saat ini kembali tenggelam oleh berbagai kasus lingkungan dan musibah lainnya. Sebanyak 266 warga Buyat Pante terpaksa meninggalkan kampung halaman dan pindah ke permukiman baru Duminaga. Sebab setelah PT NMR membuat pipa sepanjang 10 km dan membuang limbah ke Teluk Buyat, tempat tinggal mereka berubah seperti kawasan penampung limbah. Warga terserang bermacam penyakit seperti TBC, ISPA, lipoma, demetitis, dan cepholgia.
Lebih sayang lagi, pemerintah tidak mampu atau tidak mau membuktikan pencemaran itu dengan data yang akurat. Yang tersisa tinggal penderitaan rakyat kecil dan kerusakan lingkungan hidup di balik gemerlapnya industri pertambangan.
Tentu, itu semua tidak terlepas dari lemahnya penegakan UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau lazim disebut UULH. Memang benar bahwa sengketa lingkungan berkait dengan kerugian perdata bisa diselesaikan lewat jalur di luar pengadilan. Dalam kasus Newmont, berdasarkan Pasal 30-33 UULH, pemerintah dan pihak yang bersangkutan bisa melakukan negosiasi berkait dengan pelaksanaan ganti rugi yang akhirnya keluar nilai 30 juta dolar AS. Namun berdasarkan pasal-pasal tersebut pula, ganti rugi tidak serta-merta mengubah atau memengaruhi proses hukum pidananya. Apalagi, fakta di lapangan menujukkan bahwa aktivitas pembuangan limbah oleh PT NMR telah mengakibatkan kerusakan sangat fatal di Teluk Buyat. Bahkan telah jatuh korban jiwa.
Seharusnya, pemerintah lewat lembaga peradilan bersungguh-sungguh menangani kasus tersebut. Terlebih, nilai ganti rugi 30 juta dolar AS bagi PT NMR yang menguasai tambang emas itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Bagi mereka, mungkin nilai ganti rugi itu hanya nol koma sekian persen dari keuntungan yang bisa diperoleh. Karena itu, agar pencemaran tidak terulang kembali dan demi kedaulatan negara, penegakan Pasal 40 berkait dengan ancaman pidana 10 tahun penjara bagi pencemaran yang tidak mengakibatkan korban jiwa dan 15 tahun jika pencemaran sangat parah dan muncul korban jiwa, harus benar-benar dijalankan. Pidana itulah, yang bakal membuat semua pihak jera atau takut, minimal berhati-hati dalam mengeksploitasi lingkungan.
Instrumen penegakan hukum yang kita miliki sebenarnya sudah cukup. Namun kembali lagi, maukah kita bersungguh-sungguh melaksanakannya. Tentu jika mau, kasus Newmont, Freeport, dan yang terbaru Lapindo Brantas, tidak akan terjadi. Jika itu terus berlanjut, mitos bahwa negara kita adalah negara sejuta bencana, semakin menjadi kenyataan. Yang lebih parah lagi, sektor ekonomi lain seperti perikanan laut justru akan semakin terpuruk.
Bila kita mengacu Pasal 33 UUD 45 yang menyebutkan bahwa sumber daya alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tentu akan muncul pertanyaan, sudahkah amanah itu terwujud? Kita tidak perlu menggunakan indikator yang terlalu rumit. Masyarakat sekitar yang tinggal di lokasi suatu sumber daya alam merupakan indikator yang paling mudah. Apakah mereka bisa hidup sejahtera dengan pengeksploitasian sumber daya alam itu atau justru harus terusir, menderita, serta hidup dalam kemiskinan dan pencemaran. Jika mereka saja tidak makmur, bagaimana mungkin eksploitasi sumber daya alam itu bisa menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar