"Tentu sangat logis bila pengguna sumber daya air di hilir membayar kepada penyedia jasa lingkungan"
PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan tahun 2013 sebagai
Tahun Kerja Sama Air Internasional melalui Resolusi A/RES/65/154 pada
akhir 2010. Sejalan dengan penetapan tersebut, Hari Air Sedunia
diperingati tiap tanggal 22 Maret, dan tahun ini mengambil tema yang
sama, yaitu ''Kerja Sama Air''.
Air dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari daerah aliran
sungai (DAS) yang merupakan satuan ekosistem yang dibatasi oleh
punggung-punggung gunung. Daerah tersebut menerima dan mengumpulkan air
hujan, kemudian mengalirkannya menuju satu outlet. Batas alam yang
berupa punggung-punggung gunung menyebabkan air dari satu DAS tidak
mengalir ke daerah aliran yang lain, dan seluruh permukaan daratan
merupakan bagian dari DAS.
Dengan demikian, sebuah daerah aliran sungai tidak dibatasi oleh
batas administratif suatu daerah, tapi oleh batas ekologis. Sebuah
daerah aliran sungai kecil bisa jadi terletak hanya pada sebuah
kabupaten, sebaliknya banyak daerah aliran sungai terletak pada beberapa
kabupaten, provinsi, bahkan negara.
Salah satunya adalah Sungai Nil, salah satu sungai panjang yang
melintasi sembilan negara, yaitu Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda,
Tanzania, Rwanda, Burundi, Sudan, dan Mesir.
Dampaknya, daerah aliran sungai lintas batas tersebut acap memicu
konflik, bahkan perang antarpengguna. Sebut saja konflik antara Mesir/
Sudan dan negara-negara yang berada di hulu Nil, antara Bangladesh dan
India atas Sungai Gangga, atau antara Slovakia dan Hongaria atas Sungai
Donai.
Di Indonesia, sengketa pengelolaan sumber daya air dan DAS sering
terjadi pada daerah aliran sungai lintas kabupaten atau provinsi, bahkan
antarpengguna sumber daya air dalam DAS satu daerah. Contoh sengketa
antara Subak Yeh Gembrong dan PDAM di Tabanan dan antara Subak Gede Eka
Tani dan PDAM di Buleleng Bali.
Kemudian, perebutan sumber mata air antardesa di Garut Jabar, dan
konflik pengelolaan sumber daya air untuk pariwisata antara dua desa
yang merupakan perbatasan Kabupaten Semarang dengan Kabupaten Kendal.
Yang masih hangat dalam ingatan kita, konflik antara Pemkot Solo dan
Pemkab Klaten atas mata air Cokro Tulung.
Kerja Sama Pengelolaan
Penyebab konflik terkait pengelolaan air tersebut karena tidak ada
kerja sama antarpemangku kepentingan dalam kawasan daerah aliran sungai.
Tiap pihak hanya mengutamakan kepentingan masing-masing, terutama
dalam memanfaatkan sumber daya air, tanpa memedulikan jaminan keberadaan
dan kualitas sumber daya itu memerlukan pengelolaan yang terpadu dari
hulu.
Untuk menjamin fungsi penyerapan air hujan, idealnya daerah hulu
ditutupi oleh hutan. Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, dalam
satu daerah aliran sungai sedikitnya 30% wilayah berupa kawasan hutan
dengan sebaran proporsional.
Kenyataannya di Indonesia, terutama di Jawa, daerah hulu sungai bukan
lagi kawasan lindung yang menjadi wewenang pemerintah. Hampir tiap
jengkal tanah menjadi milik pribadi sehingga lebih sulit untuk menjamin
daerah tersebut tetap berupa hutan. Daerah hulu umumnya merupakan
desa-desa yang jauh dari pusat pemerintahan dan kurang tersentuh
pembangunan.
Tingkat kesejahteraan warga di daerah itu rendah dengan kapasitas SDM
yang relatif rendah pula. Umumnya masyarakat bermata pencaharian
sebagai petani. Karena desakan perekonomian dan pertambahan penduduk,
sementara mereka tidak punya keterampilan lain, lahan-lahan dengan
kelerengan tinggi yang semula berupa hutan rakyat dikonversi menjadi
lahan pertanian tanaman pangan.
Kerusakan hutan dan lingkungan di daerah hulu menyebabkan
eksternalitas negatif bagi daerah hilir. Sebaliknya, jika kelestarian
daerah hulu terjaga akan menyebabkan eksternalitas positif dengan
terjaganya stabilitas tata air pada seluruh bagian daerah aliran sungai.
Karena itu, pengelolaan sumber daya air tidak dapat dilakukan secara
parsial, harus ada kerja sama pengelolaan dari hulu ke hilir.
Para pihak yang berkepentingan harus bersama-sama menyusun program
agar semua pihak memperoleh manfaat yang adil atas sumber daya air.
Tentu sangat logis bila pengguna sumber daya air di hilir membayar
kepada penyedia jasa lingkungan, dalam hal ini masyarakat di daerah
hulu, guna menjamin kelestarian hulu DAS demi keterjagaan pasokan dan
kualitas air.
Pembayaran oleh pengguna sumber daya air digunakan untuk rehabilitasi
atau membiayai program yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan
keberdayaan masyarakat daerah hulu. Dengan demikian ada sinergi antara
hulu dan hilir, serta semua pihak memperoleh manfaat secara adil.
Secara mudah, pembayaran yang adil bagi penyedia jasa lingkungan bisa
dihitung dari banyaknya kerugian yang diderita bila daerah hulu rusak.
Contohnya, ketika terjadi banjir di DKI Jakarta, kerugian mencapai Rp 32
triliun (Okezone, 30/1/13). Lain cerita bila dilakukan kerja sama
antara Jakarta dan Bogor yang merupakan hulu sungai-sungai yang mengalir
di Jakarta.
Jakarta membayar sepertiga saja dari kerugian tersebut untuk mendanai
program-program pelestarian dan penyelamatan daerah hulu. Tentu bencana
dapat dihindari dan semua pihak memperoleh manfaat yang adil atas
sumber daya air. Tahun Kerja Sama Air Internasional dan Hari Air Sedunia
ini merupakan saat tepat untuk membenahi pengelolaan DAS pada semua
lini, sekaligus menggalang kerja sama air secara terpadu, dari hulu
sampai hilir.
dimuat di Suara Merdeka tanggal 23 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar