Jumat, 11 Mei 2012

Sampah Tanggung Jawab Produsen

"Masyarakat dituntut kritis dengan memilih produk dari produsen yang bertanggung jawab terhadap sampah produksinya"

BANJIR karena sampah menggunung hingga menyumbat saluran air seperti terjadi di Bandung baru-baru ini (antaranews, 13/04/12) seolah-oleh menjadi perkara lumrah dan tidak mengejutkan. Berita yang sama pasti pernah kita baca dan dengar dari berbagai media tiap musim hujan. Sampah, terutama bagi kota-kota besar adalah masalah kronis yang sulit ditangani. Bahkan, permasalahannya meningkat dari waktu ke waktu.

Penduduk yang makin banyak dan gaya hidup konsumtif menjadi sumber utama sampah di perkotaan. Di kota metropolitan tiap orang rata-rata menghasilkan 0,35 liter sampah per hari. Artinya, dengan jumlah penduduk mendekati 10 juta, Jakarta menghasilkan sampah 33.627 m3/ hari, Surabaya 10.509 m3, Bandung 8.382 m3, dan Semarang 5.446 m3/ hari. Dari jumlah tersebut, sepertiganya sampah anorganik, yang tidak mudah terurai oleh proses alam.

Pengelolaan sampah perkotaan, sebagian besar masih menggunakan metode konvensional, yaitu kumpulkan, angkut, dan timbun di tempat pembuangan akhir (TPA). Akibatnya, daya tampung tempat pembuangan itu makin menurun sehingga menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Pencemaran lingkungan dan kesulitan mencari lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah menjadi masalah sulit bagi pemkot/ pemkab.

Berbagai upaya sudah dilakukan, misalnya mendirikan pengolahan sampah terpadu ataupun pengelolaan sampah berbasis teknologi. Pada tingkat masyarakat, berbagai kalangan sudah aktif mengampanyekan dan melakukan upaya pengurangan lewat konsep 3R, yaitu reduce, reuse, dan recycle. Namun upaya itu  belum menampakkan hasil signifikan, volume sampah terus bertambah tiap hari.

Mengapa? Tanggung jawab siapa sebenarnya penanganan sampah? Perkotaan umumnya dicirikan oleh jumlah penduduk yang tinggi dan merupakan daerah pertumbuhan ekonomi sehingga pendapatan per kapitanya pun lebih tinggi dari pedesaan. Peningkatan perekonomian warga, mendorong peningkatan konsumsi barang baru yang lebih mutakhir.

Adalah tanggung jawab produsen untuk memastikan bahwa barang yang diproduksinya dapat dimusnahkan tanpa mencemari lingkungan. Produsen tak hanya memproduksi barang, namun dari awal sudah mendesain cara pemusnahannya sehingga tidak membebani lingkungan.
Insentif Prolingkungan

Tanggung jawab produsen diatur dalam Pasal 14 dan 15 UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Produsen wajib mencantumkan label yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan produknya. Kemasan dan barang produksi yang tak dapat atau sulit terurai oleh proses alam jadi tanggung jawab produsen untuk mengelolanya.

Bukannya tidak ada produsen yang sudah mendesain produk dan kemasannya agar tidak menjadi beban bagi lingkungan. Misalnya produsen minuman dalam kemasan botol kaca. Biasanya mereka bersedia membeli kembali kemasan untuk dipakai ulang setelah melewati proses pembersihan.

Contoh lain adalah produsen yang membina usaha kecil untuk memanfaatkan kemasan produk yang dihasilkannya sebagai bahan baku industri rumah tangga. Namun, jumlah produsen semacam itu masih sangat kecil di tengah membanjirnya produk konsumsi.

Semestinya pemerintah bisa mendorong upaya-upaya itu melalui regulasi dan kebijakan yang tepat. Termasuk memberikan insentif kepada produsen yang bertanggung jawab terhadap sampah yang diproduksi melalui pengurangan pajak atau pemberian label tertentu. Sebaliknya, produsen yang mengabaikan tanggung jawabnya memperoleh sanksi setimpal.

Edukasi terhadap masyarakat sebagai konsumen penting dilakukan. Masyarakat dituntut bertindak kritis dengan memilih produk dari produsen yang bertanggung jawab terhadap sampah produksinya.
Dengan demikian ada pembagian tanggung jawab penanganan sampah antara produsen, pemerintah, dan konsumen.

dimuat di Suara Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar