"Masyarakat dituntut kritis dengan memilih produk dari produsen yang bertanggung jawab terhadap sampah produksinya"
BANJIR karena sampah menggunung hingga menyumbat saluran air seperti
terjadi di Bandung baru-baru ini (antaranews, 13/04/12) seolah-oleh
menjadi perkara lumrah dan tidak mengejutkan. Berita yang sama pasti
pernah kita baca dan dengar dari berbagai media tiap musim hujan.
Sampah, terutama bagi kota-kota besar adalah masalah kronis yang sulit
ditangani. Bahkan, permasalahannya meningkat dari waktu ke waktu.
Penduduk yang makin banyak dan gaya hidup konsumtif menjadi sumber
utama sampah di perkotaan. Di kota metropolitan tiap orang rata-rata
menghasilkan 0,35 liter sampah per hari. Artinya, dengan jumlah penduduk
mendekati 10 juta, Jakarta menghasilkan sampah 33.627 m3/ hari,
Surabaya 10.509 m3, Bandung 8.382 m3, dan Semarang 5.446 m3/ hari. Dari
jumlah tersebut, sepertiganya sampah anorganik, yang tidak mudah terurai
oleh proses alam.
Pengelolaan sampah perkotaan, sebagian besar masih menggunakan metode
konvensional, yaitu kumpulkan, angkut, dan timbun di tempat pembuangan
akhir (TPA). Akibatnya, daya tampung tempat pembuangan itu makin menurun
sehingga menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Pencemaran
lingkungan dan kesulitan mencari lahan untuk tempat pembuangan akhir
sampah menjadi masalah sulit bagi pemkot/ pemkab.
Berbagai upaya sudah dilakukan, misalnya mendirikan pengolahan sampah
terpadu ataupun pengelolaan sampah berbasis teknologi. Pada tingkat
masyarakat, berbagai kalangan sudah aktif mengampanyekan dan melakukan
upaya pengurangan lewat konsep 3R, yaitu reduce, reuse, dan recycle.
Namun upaya itu belum menampakkan hasil signifikan, volume sampah terus
bertambah tiap hari.
Mengapa? Tanggung jawab siapa sebenarnya penanganan sampah? Perkotaan
umumnya dicirikan oleh jumlah penduduk yang tinggi dan merupakan daerah
pertumbuhan ekonomi sehingga pendapatan per kapitanya pun lebih tinggi
dari pedesaan. Peningkatan perekonomian warga, mendorong peningkatan
konsumsi barang baru yang lebih mutakhir.
Adalah tanggung jawab produsen untuk memastikan bahwa barang yang
diproduksinya dapat dimusnahkan tanpa mencemari lingkungan. Produsen tak
hanya memproduksi barang, namun dari awal sudah mendesain cara
pemusnahannya sehingga tidak membebani lingkungan.
Insentif Prolingkungan
Tanggung jawab produsen diatur dalam Pasal 14 dan 15 UU Nomor 18
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Produsen wajib mencantumkan label
yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan
dan produknya. Kemasan dan barang produksi yang tak dapat atau sulit
terurai oleh proses alam jadi tanggung jawab produsen untuk
mengelolanya.
Bukannya tidak ada produsen yang sudah mendesain produk dan
kemasannya agar tidak menjadi beban bagi lingkungan. Misalnya produsen
minuman dalam kemasan botol kaca. Biasanya mereka bersedia membeli
kembali kemasan untuk dipakai ulang setelah melewati proses pembersihan.
Contoh lain adalah produsen yang membina usaha kecil untuk
memanfaatkan kemasan produk yang dihasilkannya sebagai bahan baku
industri rumah tangga. Namun, jumlah produsen semacam itu masih sangat
kecil di tengah membanjirnya produk konsumsi.
Semestinya pemerintah bisa mendorong upaya-upaya itu melalui regulasi
dan kebijakan yang tepat. Termasuk memberikan insentif kepada produsen
yang bertanggung jawab terhadap sampah yang diproduksi melalui
pengurangan pajak atau pemberian label tertentu. Sebaliknya, produsen
yang mengabaikan tanggung jawabnya memperoleh sanksi setimpal.
Edukasi terhadap masyarakat sebagai konsumen penting dilakukan.
Masyarakat dituntut bertindak kritis dengan memilih produk dari produsen
yang bertanggung jawab terhadap sampah produksinya.
Dengan demikian ada pembagian tanggung jawab penanganan sampah antara produsen, pemerintah, dan konsumen.
dimuat di Suara Merdeka
dimuat di Suara Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar