Selasa, 03 Maret 2009

AS dan Realisasi Pengurangan Emisi

ERA baru selalu membawa harapan baru. Begitu pula dengan AS dengan kepemimpinan presiden yang baru Barack Obama. Harapan Dunia terhadap perubahan sikap AS terkait kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya pun mulai muncul. Begitu pula dengan negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
 

Harapan itu bukanlah hal semu, paling tidak jika dilihat dari gebrakan awal pemerintahannya, dalam hal ini Departemen Luar Negeri AS di bawah komando Hillary Clinton yang lebih ''demokratis".
 

Beberapa perjalanan politik pun dia lakoni, termasuk ke Indonesia, sebagai pembuka sebuah hubungan yang lebih baik lagi. Tentu hal tersebut tidak lepas dari upaya AS untuk memulihkan hubungan diplomatik di berbagai bidang yang sempat ''terganggu'' saat pemerintahan dijalankan George W Bush.
 

Janji Barack dengan jajarannya untuk lebih akomodatif dalam rangka mengembalikan citra negara adi kuasa tersebut, tentu bagaikan gayung bersambut. salah satunya tentu soal pemulihan catatan hitam Dunia terhadap AS terkait pencemaran lingkungan.
 

Hingga kini, Negeri Paman Sam memang dipandang minir sebagai penyumbang pencemaran emisi karbon tersebar. Hal itu diperparah dengan sikap keras kepala negara itu menolak berbagai perjanjian untuk mengatasi masalah tersebut. Padahal, sumbangan emisi AS telah mempercepat kerusakan dunia.
 

Menurut LSM Gerakan Rakyat Lawan Neo-Kolonialisme-Imperialisme (Gerak Lawan) sebagaimana dilansir berbagai media, metode produksi kapitalistik Amerika Serikat menjadi penyebab utama pemanasan global.
 

Sampai saat ini, 20% penduduk dunia bertanggung jawab atas 60% limbah emisi di udara. Dari jumlah itu, sumbangan emisi gas karbon masyarakat AS 4-5 kali lebih besar dari rata-rata sumbangan masyarakat dunia.
 
Protokol Kyoto
 

Ingatan kita soal Protokol Kyoto yang ditolak AS tentu masih hangat. Ketika itu, berlangsung KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992. Dalam pertemuan, lahirlah kesepakatan untuk mengatasi perubahan iklim dengan salah satu poinnya, menekan pencemaran emisi karbon.
 

Seluruh negara peserta pun telah meratifikasi dan mulai memberlakukannya tahun 1994. Saat itu, juga dibentuk IPCC, lembaga yang menaungi ilmuwan-ilmuwan untuk meneliti penyebab perubahan iklim.
 

Salah satu rekomendasinya, dalam pertemuan COP-3 (1997) menyepakati Protokol Kyoto memuat langkah pengendalian emisi karbon dan menetapkan aturan yang mengikat secara hukum,  terutama bagi negara industri. Proses itu berlanjut dan mulai Februari 2005 Protokol Kyoto berlaku.
 

Dalam protokol, sasaran pengendalian emisi hanya negara maju yang dianggap sumber pencemaran dengan proses industrialisasi. Sebab berdasar penelitian IPCC,  pada masa prarevolusi industri (sebelum 1750) emisi karbon udara menghasilkan CO2 280 ppm dan pascaindustri naik menjadi 375 ppm (2003). Akibatnya, suhu Bumi naik  0,4 derajat celsius.
 

Meski tujuan Protokol Kyoto begitu mulia, dua negara industri AS dan Australia tidak ikut meratifikasinya. Mereka tidak mau terikat secara hukum terkait pembatasan emisi karbon.
 

Sebab hal itu  akan memengaruhi kondisi industri negara dan konsekuensi dana yang sangat besar, terkait peremajaan serta modernisasi alat industri agar emisi karbon berkurang. Penolakan dua negara itu membuat pengaturan 40 persen emisi negara industri tidak masuk Protokol Kyoto. Hal itu terus berlanjut hingga Protokol Kyoto akan berakhir 2012.  Sikap AS pun tidak berubah. 
Meski demikian, upaya berbagai negara, termasuk Indonesia untuk memengaruhi negara-negara industri tidak surut. Sebagai salah satu dari 8 negara pemilik hutan terbesar, Indonesia menginisiasi kelanjutan Protokol Kyoto.

 

Akhirnya bergabunglah 11 negara yang mendorong langkah tersebut dalam bentuk pertemuan lanjutan di Bali. Dalam COP-13 Konferensi Bali Desember 2007 lahir kesepakatan tentang peta alur jalan (roadmap) menuju ke Denmark (2009), dengan salah satu agenda dukungan negara Industri, termasuk AS untuk menekan emisi karbon lewat penyelamatan hutan dunia .
 
Perubahan Sikap
 

Dalam Roadmap Bali, ada beberapa perubahan sikap negara-negara penentang Protokol Kyoto. Australia misalnya, selain menerima kesepakatan yang awal yang akan disempurnakan dalam pertemuan di Denmark (2009), negara itu membuat komitmen bantuan dengan pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan hutan-hutan  Indonesia.
 

Salah satunya, rehabilitasi hutan gambut Namun sikap Amerika, meski agak berubah, tetap tidak menargetkan hasil konvensi yang mengikat secara hukum, seperti halnya Protokol Kyoto. AS juga menerapkan prasarat akan mengikuti hasil kesepakatan baru Roadmap Bali, asalkan India dan China ikut menandatanganinya.  
 

Penyempurnaan Roadmap Bali yang sudah semakin dekat di Denmark tahun ini, dan perubahan pemerintahan AS patut ditindaklanjuti, terlebih oleh Indonesia yang selama ini giat melakukan mitigasi untuk mewujudkan program nyata pengurangan emisi karbon.
 

Di satu sisi, AS di bawan kepemimpinan Barack Obama butuh pengakuan-pengakuan dunia dan mengangkat ’’citra’’ negara, di sisi lain Indonesia butuh dukungan kuat AS agar program penurunan emisi karbon lewat pemulihan hutan benar-benar menjadi tanggung jawab semua negara di dunia. Dua kepentingan yang saling menguntungkan itu sebenarnya sudah sangat tepat untuk dijalankan. Terlebih, itu juga akan menghilangkan citra buruk AS sebagai perusak lingkungan.
 

Sebuah peluang mungkin tidak akan pernah terulang lagi. Begitu juga dengan pintu diplomasi AS yang kini tengah terbuka lebar di bawah eksekutor Hillary Clinton. Karena itu, perlu pendekatan yang lebih intensif lagi untuk mewujudkan kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan sehingga program pengurangan emisi karbon terwujud. Termasuk, dukungan riil finansial negara-negara Industri bagi negara pemilik hutan, melalui AS.
 

Memang saat itu telah ada semacam ’’janji’’ negara industri mengenai bantuan rehabilitasi hutan demi kepentingan bersama (dunia). Namun hingga sekarang, belum banyak janji yang terealisasi. Janji itu kini kandas sampai tahap mitigasi.
Mungkin, dengan merangkul pemerintahan baru Amerika itulah Indonesia dapat lebih berperan dalam upaya pengurangan emisi global. Sebab, tidak dapat dipungkiri, AS masih negara yang sangat, bahkan paling berpengaruh untuk menentukan arah kebijakan dunia yang di dalamnya mencakup realisasi pengurangan emisi karbon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar