Jumat, 09 Januari 2009

Ego Energi vs Kelestarian Hutan

KEBUTUHAN sumber energi dewasa ini tak bisa dihindari telah menjadi kebutuhan primer bagi seluruh umat manusia di dunia. Energi, terutama sebagai bahan bakar, merupakan hal yang tiap hari dicari. Mesin-mesin industri, sarana trasportasi, bahkan rumah tangga, bergantung kepada alat-alat penopang hidup yang membutuhkan energi agar bisa beroperasi.
Ketika penduduk semakin banyak, tentu kebutuhan energi juga meningkat, baik yang berbahan bakar fosil maupun nabati. Sebagai ilustrasi, kebutuhan akan energi listrik di Pulau Jawa saja masih sulit terpenuhi. Dengan daya mampu netto 18.406 megawatt (MW), sistem Jawa-Bali memiliki pembangkit sebanyak 216 unit. Selain pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik yang memasok daya ke sistem tersebut adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 8.740 MW.

Kemudian pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) 5.985 MW, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 1.483 MW, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 774 MW, dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) 66 MW.

Dibanding dengan tingkat kebutuhan yang terus bertambah, pasokan pembangkit-pembangkit itu kini kurang mencukupi alias defisit. Jika terjadi kerusakan atau keterlambatan bahan bakar, pasti terjadi pula pemadaman. Kalau pun tidak, pasti diterapkan pembatasan-pembatasan yang berbuntut pada pengurangan aktivitas industri. Seperti terjadi pada pertangahan tahun lalu, terjadi gangguan pasokan daya listrik di PLTU Paiton Unit 7, Jatim, berdaya 600 MW milik PT Paiton Energy Company (PEC) sejak Selasa (19/6/ 2008); PLTU Cilacap Unit 2, Jateng, 300 MW; dan PLTGU Cilegon, Banten, sekitar 100 MW, karena perawatan dan lain-lain.

Kebutuhan energi itu belum termasuk kebutuhan transportasi, listrik pulau-pulau besar lain (25%), kebutuhan nasional, dan kebutuhan langsung industri. Pemenuhan kebutuhan energi pun kini menjadi panglima utama yang terus digenjot, terutama dengan mengandalkan batubara. Setelah menjadi pemasok utama energi serta lewat pemerintah melalui kebijakan energi nasional dengan mencanangkan PLTU 10 ribu MW, Peraturan Presiden (Perpres) 71/2006 dan 72/ 2006, dan baru saja dijamin dengan Perpres 91/2007, membuat eksploitasi batubara semakin gencar.

Hutan Dikorbankan

Tentu memacu program pemenuhan energi, terutama batu bara, akan membawa dampak yang cukup berat. Hutan pun rusak. Kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektare (ha) setiap tahun. Kerusakan itu kini mencapai 40 persen atau 50 juta ha, dan membutuhkan 25 tahun untuk memulihkannya.

Salah satu penyebab utama kerusakan hutan, terutama di Kalimantan, adalah kegiatan ekplorasi batubara. Ribuan hektare hutan kembali rusak. Bahkan kerusakan hutan di Kalimantan Timur telah mendatangkan bencana. Wilayah Balikpapan yang semula tak pernah dilanda bencana, tahun lalu diterjang banjir. Samarinda juga demikian. Terakhir, banjir menerjang Kabupaten Kutai Kertanegara. Pemkab Kutai Kertanegara mengakui bahwa bencana itu timbul akibat kerusakan hutan dan tambang batubara. Bahkan 315 dari 705 kuasa pertambangan batubara Kaltim ada di kabupaten tersebut (Kompas, 6/1).

Ancaman atas kelestarian hutan juga datang dari upaya pemenuhan energi lewat bahan bakar nabati (biofuel). Lewat Peraturan Menteri ESDM No 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain, disebutkan mulai Januari 2009 badan usaha pemegang izin usaha bahan bakar diwajibkan menjual BBN, yakni biodiesel minimal satu dari jumlah konsumsi bahan bakar transportasi public service obligation (PSO) dan transportasi non-PSO.

Kewajiban terus bertambah hingga 25% pada 2025. Berkait dengan kewajiban itu, Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Jakarta, Sabtu (6/12/2008),  

menegaskan, pemerintah telah meminta percepatan kewajiban menggunakan BBN, setidaknya mulai Januari 2009. Volume wajib penggunaan crude palm oil (CPO)/ sawit yang kini hanya 1,2 juta ton harus ditingkatkan menjadi 2,5 juta ton sesuai dengan kapasitas industri dalam negeri.

Saat ini, dari 18 juta ton CPO produk dalam negeri, 4,5 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri non-BBN. Sisanya untuk ekspor dan kebutuhan BBN terbatas. Padahal tanpa peraturan tersebut, hutan Kalimantan juga rusak akibat sawit.
Berdasar pemantauan lembaga Save Our Borneo, laju kerusakan hutan (deforestasi) Kalimantan telah mencapai 864 ribu ha/tahun, yang 80 % di antaranya akibat pembukaan lahan sawit. Paling parah terjadi di Kalimantan Tengah, mencapai 256 ribu ha/tahun.

Padahal Indonesia dalam Deklarasi Sidney hasil forum APEC 2007 telah berkomitmen untuk menyelematkan hutan Kalimantan. Sebagai imbal balik, Indonesia mendapatkan komitmen bantuan 20 juta dolar AS dan 100 juta dolar Australia. Direncanakan, hutan dalam kawasan APEC bisa bertambah hingga 20 juta hektare sampai dengan 2020, perbaikan kawasan hutan gambut Kalimantan, penyelamatan 70 ribu hektare hutan rawan dan menanam 100 juta pohon baru. Bantuan itu akan bertambah, karena tidak termasuk program pengurangan emisi rumah kaca hingga 30 tahun ke depan.

Dalam tataran itulah sikap mendua timbul. Di satu sisi, ingin memenuhi kebutuhan energi, baik lewat pertambangan fosil maupun lewat pengembangan biodisel (sawit); di sisi lain hutan perlu diselamatkan. Padahal, eksploitasi tambang batubara ataupun pengembangan sawit telah terbukti justru merusak hutan. 

Tidak adakah cara lain yang bisa dilakukan untuk pemenuhan energi tanpa merusak hutan? Toh, Indonesia kaya akan energi matahari, angin, gelombang air laut, panas bumi, dan lain sebagainya, yang lebih ramah lingkungan?

Bukankah kerusakan hutan pun telah terbukti mendatangkan kerugian yang tidak dapat dinilai, sebab berkait dengan keselamatan jiwa manusia? Kalaupun tidak bisa dihindari, adakah pemetaan yang jelas tentang tata guna lahan yang lebih mengutamakan kelestarian hutan?

Semua itu kembali kepada kebijakan dan perencanaan nasional terpadu, yang pada akhirnya akan menentukan pemenuhan energi dan kelestarian hutan. Tentu, jika diminta untuk memilih, kita akan mengutamakan keselamatan jiwa dengan mempertahankan hutan yang tersisa, bahkan  merehabilitasi hutan-hutan yang sudah rusak.

 dimuat di Suara Merdeka tanggal 8 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar