Minggu, 17 Juni 2007

Menata Perikanan Nasional


POTENSI terbesar negara kepulauan seperti Indonesia, tentu saja sektor perikanan dan kelautan. Terlebih lagi, luas laut Indonesia baik yang berupa perairan teritorial, nusantara, maupun zona ekonomi eksklusif (ZEE) mencapai 5,8 juta m2. Di dalamnya, Ikan, minyak lepas pantai, terumbu karang, dan potensi wisata melimpah. Meski demikian, semua itu belum membuat Indonesia menjadi negara yang kaya. Hal ini tentu membuat kita bertanya-tanya, mengapa demikian?

Jika melihat salah satu saja, yakni ikan, mustahil Indonesia belum juga makmur. Sebab, potensi lestari perikanan nasional mencapai 6,26 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, 4,4 juta ton di antaranya berada di wilayah tangkap perairan Indonesia dan 1,8 juta ton lainnya berada di perairan ZEE. Namun sekali lagi, potensi tinggal potensi. Tanpa pengelolaan dan pola pemanfaatan yang baik, semua itu tidak akan membuat kita menjadi apa-apa.

Terkait hal tersebut, paling tidak ada empat masalah yang harus dibenahi. Yakni teknologi tangkap, status hukum perikanan di mata internasional, dan nasib nelayan. Pertama, pembenahan dan peningkatan teknologi tangkap nelayan. Pembenahan ini perlu dilakukan mengingat potensi ikan yang telah termanfaatkan oleh nelayan/dunia perikanan nasional baru mencapai 3,8 juta ton per tahun.

Keterbatasan teknologi dan kelas kapal, membuat jangkauan dan jumlah tangkap nelayan terbatas. Memang, banyak kapal kecil yang bisa menjangkau samudra lepas bahkan sampai ke perairan Australia. Namun mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan. Jika memiliki alat tangkap modern dan kapal besar, waktu tangkap akan lebih cepat. Dampaknya, kuantitas-berangkat dan pulang- menangkap ikan juga meningkat yang akhirnya berpengaruh pada hasil tangkapan. Di sisi lain, kemampuan tangkap yang rendah itu membuat nelayan tidak bisa bersaing dengan kapal asing, baik yang masuk secara legal maupun ilegal.

Menteri Kelautan dan Perikanan (DKP) Freddy Numberi mengungkapkan, pencurian ikan oleh kapal asing telah merugikan Indonesia Rp 30 triliun per tahun. Hal ini tidak akan terjadi jika kemampuan tangkap nelayan -baik dari segi alat maupun kapal- melebihi atau minimal sama dengan kapal-kapal asing tersebut.

Pembenahan kedua adalah pemosisian dan status hukum hasil perikanan Indonesia di mata dunia internasional. Hal ini perlu dibenahi karena banyak produk perikanan nasional yang "dipersulit" bahkan ditolak pasar internasional. Salah contohnya, tuna biru. Banyak nelayan yang tidak bisa menikmati harga tuna biru 25-50 dolar AS/kg karena Indonesia belum tergabung dalam Committee for the Conservation of the Southern Bluefin Tuna (CCSBT). 

Akibatnya, Indonesia -dalam hal ini nelayan- hanya bisa menjual tuna dengan harga murah kepada negara-negara pemilik label atau anggota CCSBT. Merekalah yang menikmati harga tinggi tuna biru. Bahkan tahun lalu, kuota tangkap nelayan Indonesia dibatasi. Kondisi serupa juga terjadi pada udang windu. Tentu saja, jika Indonesia bisa menjadi anggota CCSBT, nelayan akan lebih makmur karena bisa menikmati harga tinggi komoditas-komoditas tersebut.

Ketiga, memperbaiki nasib nelayan. Hal ini sangat diperlukan karena merekalah ujung tombak dunia perikanan Indonesia. Sebagai nelayan, setiap saat mereka mempertaruhkan hidup dan keselamatan untuk bisa memanfaatkan kekayaan sumber daya laut. Namun nasib mereka justru yang paling sulit. Tidak ada sistem dan jaminan yang benar-benar bisa membuat mereka hidup lebih layak.

Setiap musin paceklik tangkap, banyak nelayan yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka harus utang kepada pedagang atau menjual sebagian harta bendanya untuk bertahan. Kesulitan akan bertambah tatkala mereka akan kembali melaut kembali. Bekal, bahan bakar, umpan, atau alat lainnya yang harus dimiliki, membuat nelayan kembali terjerat utang-dalam hal ini sistem ijon- dengan para pemilik modal. Karena itu, meski menangkap banyak ikan, mereka tetap kekurangan karena harus melunasi utang-utangnya.

Di luar masalah itu, ketika sampai di TPI, hasil tangkapan nelayan juga menyusut drastis. Alang-lang, pajak tangkap, sewa basket/keranjang, dan potongan-potongan lain sudah menanti. Justru mereka yang berada di darat, lebih diuntungkan oleh nelayan. Namun sekali lagi, nelayan tetap harus berjuang sendiri tatkala kesulitan.
 
Jika ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan jumlah nelayan akan terus berkurang. Akhir dari semua itu, potensi laut,dalam hal ini ikan, tetap tidak bisa membuat Indonesia makmur.

dimuat di tanggal Suara Merdeka16 Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar