POTENSI terbesar negara kepulauan seperti Indonesia, tentu saja
sektor perikanan dan kelautan. Terlebih lagi, luas laut Indonesia baik
yang berupa perairan teritorial, nusantara, maupun zona ekonomi eksklusif
(ZEE) mencapai 5,8 juta m2. Di dalamnya, Ikan, minyak lepas pantai, terumbu
karang, dan potensi wisata melimpah. Meski demikian, semua itu belum membuat
Indonesia menjadi negara yang kaya. Hal ini tentu membuat kita bertanya-tanya,
mengapa demikian?
Jika melihat salah satu saja, yakni ikan, mustahil Indonesia belum
juga makmur. Sebab, potensi lestari perikanan nasional mencapai 6,26 juta
ton per tahun. Dari jumlah itu, 4,4 juta ton di antaranya berada di wilayah
tangkap perairan Indonesia dan 1,8 juta ton lainnya berada di perairan
ZEE. Namun sekali lagi, potensi tinggal potensi. Tanpa pengelolaan dan
pola pemanfaatan yang baik, semua itu tidak akan membuat kita menjadi apa-apa.
Terkait hal tersebut, paling tidak ada empat masalah yang harus dibenahi.
Yakni teknologi tangkap, status hukum perikanan di mata internasional,
dan nasib nelayan. Pertama, pembenahan dan peningkatan teknologi tangkap
nelayan. Pembenahan ini perlu dilakukan mengingat potensi ikan yang telah
termanfaatkan oleh nelayan/dunia perikanan nasional baru mencapai 3,8 juta
ton per tahun.
Keterbatasan teknologi dan kelas kapal, membuat jangkauan dan jumlah
tangkap nelayan terbatas. Memang, banyak kapal kecil yang bisa menjangkau
samudra lepas bahkan sampai ke perairan Australia. Namun mereka membutuhkan
waktu berbulan-bulan. Jika memiliki alat tangkap modern dan kapal besar,
waktu tangkap akan lebih cepat. Dampaknya, kuantitas-berangkat dan pulang-
menangkap ikan juga meningkat yang akhirnya berpengaruh pada hasil tangkapan.
Di sisi lain, kemampuan tangkap yang rendah itu membuat nelayan tidak bisa
bersaing dengan kapal asing, baik yang masuk secara legal maupun ilegal.
Menteri Kelautan dan Perikanan (DKP) Freddy Numberi mengungkapkan, pencurian
ikan oleh kapal asing telah merugikan Indonesia Rp 30 triliun per tahun.
Hal ini tidak akan terjadi jika kemampuan tangkap nelayan -baik dari segi
alat maupun kapal- melebihi atau minimal sama dengan kapal-kapal asing
tersebut.
Pembenahan kedua adalah pemosisian dan status hukum hasil perikanan
Indonesia di mata dunia internasional. Hal ini perlu dibenahi karena banyak
produk perikanan nasional yang "dipersulit" bahkan ditolak pasar
internasional. Salah contohnya, tuna biru. Banyak nelayan yang tidak bisa
menikmati harga tuna biru 25-50 dolar AS/kg karena Indonesia belum tergabung
dalam Committee for the Conservation of the Southern Bluefin Tuna (CCSBT).
Akibatnya, Indonesia -dalam hal ini nelayan- hanya bisa menjual tuna dengan
harga murah kepada negara-negara pemilik label atau anggota CCSBT. Merekalah
yang menikmati harga tinggi tuna biru. Bahkan tahun lalu, kuota tangkap
nelayan Indonesia dibatasi. Kondisi serupa juga terjadi pada udang windu.
Tentu saja, jika Indonesia bisa menjadi anggota CCSBT, nelayan akan lebih
makmur karena bisa menikmati harga tinggi komoditas-komoditas tersebut.
Ketiga, memperbaiki nasib nelayan. Hal ini sangat diperlukan karena
merekalah ujung tombak dunia perikanan Indonesia. Sebagai nelayan, setiap
saat mereka mempertaruhkan hidup dan keselamatan untuk bisa memanfaatkan
kekayaan sumber daya laut. Namun nasib mereka justru yang paling sulit.
Tidak ada sistem dan jaminan yang benar-benar bisa membuat mereka hidup
lebih layak.
Setiap musin paceklik tangkap, banyak nelayan yang kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Mereka harus utang kepada pedagang atau menjual sebagian
harta bendanya untuk bertahan. Kesulitan akan bertambah tatkala mereka
akan kembali melaut kembali. Bekal, bahan bakar, umpan, atau alat lainnya
yang harus dimiliki, membuat nelayan kembali terjerat utang-dalam hal ini
sistem ijon- dengan para pemilik modal. Karena itu, meski menangkap banyak
ikan, mereka tetap kekurangan karena harus melunasi utang-utangnya.
Di luar masalah itu, ketika sampai di TPI, hasil tangkapan nelayan juga
menyusut drastis. Alang-lang, pajak tangkap, sewa basket/keranjang, dan
potongan-potongan lain sudah menanti. Justru mereka yang berada di darat,
lebih diuntungkan oleh nelayan. Namun sekali lagi, nelayan tetap harus
berjuang sendiri tatkala kesulitan.
Jika ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan jumlah nelayan akan
terus berkurang. Akhir dari semua itu, potensi laut,dalam hal ini ikan,
tetap tidak bisa membuat Indonesia makmur.
dimuat di tanggal Suara Merdeka16 Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar