SALAH satu masalah besar yang mendera negeri ini dan menjadi
polemik berkepanjangan adalah kerusakan hutan serta kebutuhan energi. Padahal
secara langsung maupun tidak, keduanya sangat berkait erat.
Pada awal perjalanan era Orde Baru, kita dihadapkan kepada dua pilihan
pengembangan power plan. Yaitu membangun pembangkit-pembangkit listrik
skala kecil untuk kawasan-kawasan regional dengan jaringan-jaringan mandiri,
atau mengembangkan pembangkit-pembangkit besar yang tersentral.
Mengingat kondisi pemerintahan dan politik saat itu, mega-megaproyek
menjadi pilihan. Proyek terpadu antara pembangkit listrik, bendungan besar,
dan sistem kelistrikan Jawa-Bali pun segera terwujud. Semula, sistem itu
berjalan lancar karena kondisi lingkungan masih baik dan tingkat kebutuhan
energi masih sedikit, sehingga bisa terpenuhi oleh sejumlah pembangkit
listrik tenaga air (PLTA) yang dibangun.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, kondisi lingkungan terdegradasi.
Hutan banyak yang rusak. Tentu hal itu memengaruhi kelangsungan pasokan
energi. Sebab, beberapa power plan ternyata masih berupa PLTA yang
sangat dipengaruhi oleh kondisi hutan. Tengok saja, PLTA-PLTA di Jawa Barat
seperti Cirata yang menghasilkan 1.008 MW, Bendung Jatiluhur 180 MW, dan
Saguling 700 MW. Belum lagi PLTA Mrica/Garung/Ketenger di Jawa Tengah,
yang menghasilkan 215 MW dan PLTA yang memanfaatkan aliran Sungai Brantas
dengan kekuatan produksi 275 MW.
Fakta itu seharusnya membuat kita sadar untuk lebih memperhatikan keselamatan
hutan. Terlebih, kerusakan hutan ternyata membuat PLTA-PLTA itu tidak bisa
menghasilkan energi maksimal. Salah satu contohnya, kerusakan hutan di
daerah hulu Sungai Citarum yang mengakibatkan kerja turbin pembangkit listrik
Bendung Jatiluhur tidak lancar. Bahkan tahun lalu, ketika kemarau, volume
bendungan tersebut turun drastis. Saat itu, air yang tersisa hanya 800,15
juta m3.
Jika dibandingkan dengan kondisi normal, tentu jumlah itu sangat sedikit.
Sebab, bendungan sebenarnya mampu menampung 1,8 miliar m3. Kondisi itu
mengakibatkan pelepasan air juga tidak maksimal dan tidak cukup kuat untuk
memutar keenam turbin pembangkit di lokasi tersebut.
Sedimentasi
Kondisi tak jauh berbeda juga menimpa PLTA Saguling yang memanfaatkan
aliran Sungai Cirata di Purwakarta. Degradasi lingkungan dan kerusakan
hutan di daerah aliran sungai tersebut membuat tingkat sedimentasi yang
masuk ke Bendung Saguling semakin meningkat. Kini, sedimentasinya telah
mencapai 5,5 juta m3 per tahun. Padahal, saat pembuatan awal, bendung itu
diprediksi dan dirancang untuk mengatasi sedimentasi maksimal 4 juta m3.
Tentu saja, hal itu membuat usia bendung semakin berkurang.
Kerusakan lingkungan dan hutan juga terlihat lewat input air
ke Bendung Saguling. Ketika musim hujan, air yang masuk bisa mencapai 400-600
m3/detik, namun saat kemarau air yang masuk pernah mencapai titik terendah,
yakni 4 m3/detik.
Padahal, saat awal pembuatan, input air ke bendungan relatif
stabil, 100-200 m3/detik, baik ketika kemarau maupun saat musim hujan.Itu
terjadi akibat lahan tidak mampu lagi menahan air saat hujan, dan hanya
sedikit air yang bisa dicadangkan ketika kemarau. Akar masalahnya, tentu
kerusakan hutan.
Bagaimana dengan kondisi bendung dan PLTA di Jawa Tengah? Ternyata
nasibnya tak jauh berbeda. Bendung Sudirman/Mrica, misalnya. Kerusakan
daerah aliran Sungai Serayu juga membuat PLTA tidak bisa bekerja maksimal.
Bahkan usia bendung diperkirakan telah menyusut 5-10 tahun dari rencana
semula. Tingkat sedimentasi menembus angka 10 juta m3 per tahun, dengan
total endapan mencapai 71,73 juta m3.
Kondisi itu menyebabkan kapasitas tampung bendungan terus menyusut
dan akhirnya memengaruhi pelepasan serta kemampuan air memutar turbin pembangkit
listrik yang ada. Akibatnya, bisa diprediksi, bahwa krisis energi jelas
mengancam kita pada masa yang akan datang.
Memang, jika dilihat dari sistem kelistrikan Jawa-Bali dengan kapasitas
terpasang 19.615 MW, daya keseluruhan 18.402 MW, dan jumlah pembangkit
216 unit, sumbangan PLTA hanya 5,3%. Sebagian besar memang ditopang PLTB
(batubara) 47,7%, kemudian minyak 21,6%, gas 17,4%, dan Geothermal 6,3%.
Namun, haruskah kita bergantung kepada sumber lain yang tidak terbaharui?
Seharusnya kita mulai menimbang kembali untuk mempercepat pemulihan kondisi
hutan. Dengan demikian, pasokan energi bisa bergantung kepada kekuatan
aliran sungai yang terjamin keberlangsungannya. Terlebih, sumber energi
seperti batubara dan minyak menyumbang polusi serta mempercepat pemanasan
global, yang pada akhirnya mengancam keselamatan kita.
dimuat di Suara Merdeka tanggal 14 Juli 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar