Minggu, 15 Juli 2007

Bergantung kepada Sungai

SALAH satu masalah besar yang mendera negeri ini dan menjadi polemik berkepanjangan adalah kerusakan hutan serta kebutuhan energi. Padahal secara langsung maupun tidak, keduanya sangat berkait erat.

Pada awal perjalanan era Orde Baru, kita dihadapkan kepada dua pilihan pengembangan power plan. Yaitu membangun pembangkit-pembangkit listrik skala kecil untuk kawasan-kawasan regional dengan jaringan-jaringan mandiri, atau mengembangkan pembangkit-pembangkit besar yang tersentral.

Mengingat kondisi pemerintahan dan politik saat itu, mega-megaproyek menjadi pilihan. Proyek terpadu antara pembangkit listrik, bendungan besar, dan sistem kelistrikan Jawa-Bali pun segera terwujud. Semula, sistem itu berjalan lancar karena kondisi lingkungan masih baik dan tingkat kebutuhan energi masih sedikit, sehingga bisa terpenuhi oleh sejumlah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dibangun.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, kondisi lingkungan terdegradasi. Hutan banyak yang rusak. Tentu hal itu memengaruhi kelangsungan pasokan energi. Sebab, beberapa power plan ternyata masih berupa PLTA yang sangat dipengaruhi oleh kondisi hutan. Tengok saja, PLTA-PLTA di Jawa Barat seperti Cirata yang menghasilkan 1.008 MW, Bendung Jatiluhur 180 MW, dan Saguling 700 MW. Belum lagi PLTA Mrica/Garung/Ketenger di Jawa Tengah, yang menghasilkan 215 MW dan PLTA yang memanfaatkan aliran Sungai Brantas dengan kekuatan produksi 275 MW.

Fakta itu seharusnya membuat kita sadar untuk lebih memperhatikan keselamatan hutan. Terlebih, kerusakan hutan ternyata membuat PLTA-PLTA itu tidak bisa menghasilkan energi maksimal. Salah satu contohnya, kerusakan hutan di daerah hulu Sungai Citarum yang mengakibatkan kerja turbin pembangkit listrik Bendung Jatiluhur tidak lancar. Bahkan tahun lalu, ketika kemarau, volume bendungan tersebut turun drastis. Saat itu, air yang tersisa hanya 800,15 juta m3.

Jika dibandingkan dengan kondisi normal, tentu jumlah itu sangat sedikit. Sebab, bendungan sebenarnya mampu menampung 1,8 miliar m3. Kondisi itu mengakibatkan pelepasan air juga tidak maksimal dan tidak cukup kuat untuk memutar keenam turbin pembangkit di lokasi tersebut.
 
Sedimentasi
 
Kondisi tak jauh berbeda juga menimpa PLTA Saguling yang memanfaatkan aliran Sungai Cirata di Purwakarta. Degradasi lingkungan dan kerusakan hutan di daerah aliran sungai tersebut membuat tingkat sedimentasi yang masuk ke Bendung Saguling semakin meningkat. Kini, sedimentasinya telah mencapai 5,5 juta m3 per tahun. Padahal, saat pembuatan awal, bendung itu diprediksi dan dirancang untuk mengatasi sedimentasi maksimal 4 juta m3. Tentu saja, hal itu membuat usia bendung semakin berkurang.

Kerusakan lingkungan dan hutan juga terlihat lewat input air ke Bendung Saguling. Ketika musim hujan, air yang masuk bisa mencapai 400-600 m3/detik, namun saat kemarau air yang masuk pernah mencapai titik terendah, yakni 4 m3/detik.

Padahal, saat awal pembuatan, input air ke bendungan relatif stabil, 100-200 m3/detik, baik ketika kemarau maupun saat musim hujan.Itu terjadi akibat lahan tidak mampu lagi menahan air saat hujan, dan hanya sedikit air yang bisa dicadangkan ketika kemarau. Akar masalahnya, tentu kerusakan hutan.

Bagaimana dengan kondisi bendung dan PLTA di Jawa Tengah? Ternyata nasibnya tak jauh berbeda. Bendung Sudirman/Mrica, misalnya. Kerusakan daerah aliran Sungai Serayu juga membuat PLTA tidak bisa bekerja maksimal. Bahkan usia bendung diperkirakan telah menyusut 5-10 tahun dari rencana semula. Tingkat sedimentasi menembus angka 10 juta m3 per tahun, dengan total endapan mencapai 71,73 juta m3.

Kondisi itu menyebabkan kapasitas tampung bendungan terus menyusut dan akhirnya memengaruhi pelepasan serta kemampuan air memutar turbin pembangkit listrik yang ada. Akibatnya, bisa diprediksi, bahwa krisis energi jelas mengancam kita pada masa yang akan datang.

Memang, jika dilihat dari sistem kelistrikan Jawa-Bali dengan kapasitas terpasang 19.615 MW, daya keseluruhan 18.402 MW, dan jumlah pembangkit 216 unit, sumbangan PLTA hanya 5,3%. Sebagian besar memang ditopang PLTB (batubara) 47,7%, kemudian minyak 21,6%, gas 17,4%, dan Geothermal 6,3%.
 
Namun, haruskah kita bergantung kepada sumber lain yang tidak terbaharui? Seharusnya kita mulai menimbang kembali untuk mempercepat pemulihan kondisi hutan. Dengan demikian, pasokan energi bisa bergantung kepada kekuatan aliran sungai yang terjamin keberlangsungannya. Terlebih, sumber energi seperti batubara dan minyak menyumbang polusi serta mempercepat pemanasan global, yang pada akhirnya mengancam keselamatan kita.
 
dimuat di Suara Merdeka tanggal 14 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar