KEKERINGAN yang mulai menyapa dan kian parah seiring dengan perjalanan
musim kemarau, membuat kita kembali menyesali kerusakan hutan Tanah Air.
Malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih, di berbagai tempat,
orang mulai mengeluh sulit mendapat air. Volume waduk-waduk juga berkurang.
Contohnya, Waduk Sempor di Kebumen. Isinya tinggal 20 juta meter kubik
air dan hanya cukup untuk mengairi lahan serta memasok PDAM untuk dua bulan
ke depan (Suara Merdeka, 19/7). Kondisi tak jauh berbeda juga melanda
Gunung Kidul serta beberapa daerah lainnya.
Di sisi lain, pemberitaan tentang operasi pemberantasan illegal
logging, penggagalan penyelundupan kayu, dan kerusakan hutan, terus
menghiasi halaman berbagai media massa. Hal itu menunjukkan, praktik pengelolaan
hutan oleh perusahaan, perorangan, bahkan negara, masih memiliki banyak
celah dan kelemahan yang perlu dibenahi.
Tak urung Menteri Kehutanan, MS Ka'ban mengakui, 59 juta hektare di
antara 120,35 juta hektare hutan dalam kondisi rusak. Kini laju kerusakan
hutan masih sangat tinggi, mencapai 2, 83 juta hektare/tahun atau enam
kali lapangan bola/menit.
Namun, di tengah kondisi carut-marutnya pengelolaan hutan itu, secercah
harapan kembali muncul lewat skema sertifikasi hutan lestari. Skema yang
bertujuan menciptakan model pengelolaan hutan berkelanjutan itu memang
mengisyaratkan berbagai hal, termasuk mempertahankan bahkan merehabilitasi
hutan di kawasan-kawasan yang telah ditentukan. Misalnya, di lahan sangat
miring, kawasan penyangga air daerah sekitar, dan di area yang memiliki
flora atau fauna langka.
Meski demikian, masih sedikit perusahaan pengelola hutan atau industri
berbasis kehutanan yang menjalankan skema tersebut. Dari ribuan perusahaan
besar dan kecil, hanya 11 unit yang telah memperoleh sertifikat hutan lesatari
dari lembaga ekolabel Indonesia. Luasan hutan yang dikelola berdasarkan
prasyarat penyerahan sertifikat (pengelolaan lestari) itu juga sangat sedikit,
yakni 1,04 juta hektare atau 1,5% dari luas hutan keseluruhan.
Kebanggan dan Keprihatinan
Kondisi itu, di satu sisi merupakan kebanggaan, tetapi di sisi
lain menjadi keprihatinan, terutama berkait dengan kuantitas pihak yang
mau dan mampu menjalankan skema tersebut.
Tentu timbul pertanyaan, mampukan skema sertifikasi hutan lestari mengejar
dan meminimkan laju kerusakan hutan di Tanah Air?
Percepatan ternyata diperlukan agar laju kerusakan hutan bisa diatasi
sesegera mungkin. Memang, untuk mendapat sertifikat hutan lestari, tidaklah
semudah membalik telapak tangan. Sebab, bukan hanya sebatas kertas sertifikat
yang didapat, melainkan pengelolaan hutan lestari benar-banar harus membudaya
di setiap perusahaan atau industri berbasis hutan.
Terlebih, sertifikasi itu mengisyaratkan pengelolaan hutan lestari,
mulai dari hulu (produksi/penyediaan bahan baku), cara-cara pengelolaan
dari bahan mentah menjadi produk, sampai dengan pemasarannya (legal/ilegal).
Beberapa kendala juga masih membebani para pemilik perusahaan berkait
dengan sertifikasi hutan lestari. Pertama, manfaat kepemilikan sertifikat
belum begitu dirasakan. Hal itu terjadi karena masih banyak negara yang
tetap menerima hasil hutan nonlestari, sehingga pasar negara yang menerapkan
skema tersebut justru menjadi terbatas dan sulit bersaing.
Kedua, sosialisasi tentang arti penting pengelolaan lestari yang diwujudkan
lewat sertifikasi hutan lestari belum begitu merata. Akibatnya, beberapa
pengusaha di Tanah Air justru mengeluhkan pembengkakan biaya produksi/pemasaran
berkait dengan pengurusan sertifikat lacak balak (sertifikasi hutan lestari)
atas produk berbasis hutan yang diekspor ke Uni Eropa dan Amerika (Suara
Merdeka, 18/7).
Untuk mengatasi masalah itu, ternyata "pekerjaan rumah" (PR)
pemerintah sangat banyak. Pemerintah sebagai pengelola negara yang memiliki
kawasan hutan sangat luas serta bisa memengaruhi kondisi cuaca global,
harus bisa meminta dunia internasional untuk menetapkan satu kebijakan
atas pasar hasil hutan. Yakni, hanya mau menerima dan memberi nilai lebih
atas produk yang telah memiliki sertitifikat hutan lestari. Bagaimanapun,
jika iklim global stabil, semua negara, pemilik hutan atau tidak, bakal
turut menikmatinya.
Kedua, menerapkan kebijakan tegas berupa tahapan-tahapan yang harus
diikuti seluruh industri berbasis kehutanan berkait dengan sertifikasi
hutan lestari. Dengan demikian, dalam lima-enam tahun ke depan, sertifikasi
hutan lestari benar-benar telah membumi, dan segala bencana berkait dengan
kondisi hutan bisa dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar