Jumat, 27 Juli 2007

Membumikan Sertifikasi Hutan Lestari

KEKERINGAN yang mulai menyapa dan kian parah seiring dengan perjalanan musim kemarau, membuat kita kembali menyesali kerusakan hutan Tanah Air. Malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih, di berbagai tempat, orang mulai mengeluh sulit mendapat air. Volume waduk-waduk juga berkurang.
Contohnya, Waduk Sempor di Kebumen. Isinya tinggal 20 juta meter kubik air dan hanya cukup untuk mengairi lahan serta memasok PDAM untuk dua bulan ke depan (Suara Merdeka, 19/7). Kondisi tak jauh berbeda juga melanda Gunung Kidul serta beberapa daerah lainnya.

Di sisi lain, pemberitaan tentang operasi pemberantasan illegal logging, penggagalan penyelundupan kayu, dan kerusakan hutan, terus menghiasi halaman berbagai media massa. Hal itu menunjukkan, praktik pengelolaan hutan oleh perusahaan, perorangan, bahkan negara, masih memiliki banyak celah dan kelemahan yang perlu dibenahi.

Tak urung Menteri Kehutanan, MS Ka'ban mengakui, 59 juta hektare di antara 120,35 juta hektare hutan dalam kondisi rusak. Kini laju kerusakan hutan masih sangat tinggi, mencapai 2, 83 juta hektare/tahun atau enam kali lapangan bola/menit.

Namun, di tengah kondisi carut-marutnya pengelolaan hutan itu, secercah harapan kembali muncul lewat skema sertifikasi hutan lestari. Skema yang bertujuan menciptakan model pengelolaan hutan berkelanjutan itu memang mengisyaratkan berbagai hal, termasuk mempertahankan bahkan merehabilitasi hutan di kawasan-kawasan yang telah ditentukan. Misalnya, di lahan sangat miring, kawasan penyangga air daerah sekitar, dan di area yang memiliki flora atau fauna langka.

Meski demikian, masih sedikit perusahaan pengelola hutan atau industri berbasis kehutanan yang menjalankan skema tersebut. Dari ribuan perusahaan besar dan kecil, hanya 11 unit yang telah memperoleh sertifikat hutan lesatari dari lembaga ekolabel Indonesia. Luasan hutan yang dikelola berdasarkan prasyarat penyerahan sertifikat (pengelolaan lestari) itu juga sangat sedikit, yakni 1,04 juta hektare atau 1,5% dari luas hutan keseluruhan.
 
Kebanggan dan Keprihatinan
 
Kondisi itu, di satu sisi merupakan kebanggaan, tetapi di sisi lain menjadi keprihatinan, terutama berkait dengan kuantitas pihak yang mau dan mampu menjalankan skema tersebut.

Tentu timbul pertanyaan, mampukan skema sertifikasi hutan lestari mengejar dan meminimkan laju kerusakan hutan di Tanah Air?

Percepatan ternyata diperlukan agar laju kerusakan hutan bisa diatasi sesegera mungkin. Memang, untuk mendapat sertifikat hutan lestari, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sebab, bukan hanya sebatas kertas sertifikat yang didapat, melainkan pengelolaan hutan lestari benar-banar harus membudaya di setiap perusahaan atau industri berbasis hutan.

Terlebih, sertifikasi itu mengisyaratkan pengelolaan hutan lestari, mulai dari hulu (produksi/penyediaan bahan baku), cara-cara pengelolaan dari bahan mentah menjadi produk, sampai dengan pemasarannya (legal/ilegal).

Beberapa kendala juga masih membebani para pemilik perusahaan berkait dengan sertifikasi hutan lestari. Pertama, manfaat kepemilikan sertifikat belum begitu dirasakan. Hal itu terjadi karena masih banyak negara yang tetap menerima hasil hutan nonlestari, sehingga pasar negara yang menerapkan skema tersebut justru menjadi terbatas dan sulit bersaing.

Kedua, sosialisasi tentang arti penting pengelolaan lestari yang diwujudkan lewat sertifikasi hutan lestari belum begitu merata. Akibatnya, beberapa pengusaha di Tanah Air justru mengeluhkan pembengkakan biaya produksi/pemasaran berkait dengan pengurusan sertifikat lacak balak (sertifikasi hutan lestari) atas produk berbasis hutan yang diekspor ke Uni Eropa dan Amerika (Suara Merdeka, 18/7).

Untuk mengatasi masalah itu, ternyata "pekerjaan rumah" (PR) pemerintah sangat banyak. Pemerintah sebagai pengelola negara yang memiliki kawasan hutan sangat luas serta bisa memengaruhi kondisi cuaca global, harus bisa meminta dunia internasional untuk menetapkan satu kebijakan atas pasar hasil hutan. Yakni, hanya mau menerima dan memberi nilai lebih atas produk yang telah memiliki sertitifikat hutan lestari. Bagaimanapun, jika iklim global stabil, semua negara, pemilik hutan atau tidak, bakal turut menikmatinya.
 
Kedua, menerapkan kebijakan tegas berupa tahapan-tahapan yang harus diikuti seluruh industri berbasis kehutanan berkait dengan sertifikasi hutan lestari. Dengan demikian, dalam lima-enam tahun ke depan, sertifikasi hutan lestari benar-benar telah membumi, dan segala bencana berkait dengan kondisi hutan bisa dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar