Jumat, 15 Februari 2008

Banjir dan Pengelolaan DAS Antardaerah

"Daerah hilir sebagai pemanfaat air membayar sejumlah kompensasi kepada daerah hulu. Dengan demikian, daerah hulu mau memerankan fungsinya sebagai penjaga lingkungan."

SETIAP musim hujan, banyak kota dan kabupaten di Pulau Jawa menjerit akibat banjir kiriman. Sebut saja Jakarta. Ribuan warga Ibu Kota itu setiap tahun harus menanggung derita akibat musibah tersebut. Meski demikian, penyelesaiannya selalu parsial.

Gegap gempita penanganan banjir hanya terfokus pada saat kejadian. Ketika hujan reda (musim hujan berakhir), hilang pula ingatan orang akan akibat bencana itu . Dampaknya, sumber utama banjir tak terselesaikan. Kalaupun ada, program yang mencuat justru hanya datang dari Pemprov DKI.
Contohnya, pembuatan kanal raksasa keliling Jakarta untuk mengatasi banjir kiriman dari Bogor. Namun bagaimana dengan penataan kembali  wilayah Bogor?

Hal serupa juga menimpa banyak kota lain. Misalnya, banjir besar yang melanda Kudus, Cepu, Blora, Pati, Grobogan, dan Solo. Penyelesaiannya pun tetap sama. Pemerintah daerah (pemda) masing-masing bekerja parsial. Mereka sering mendengungkan bahwa musibah tersebut akibat banjir kiriman. Benarkah?

Label banjir kiriman seolah menjadi pembenar bagi wilayah yang tertimpa bencana, bahwa mereka adalah korban. Saat itulah, dengan ringan mereka menuding daerah lain sebagai penyebabnya. Mengapa begitu?
Sebenarnya hampir tak ada sungai yang mengalir hanya di satu kota atau kabupaten. Anak sungai atau sungai akan bertemu dangan sungai-sungai lain dan berakhir dalam satu muara.

Kesatuan wilayah itu disebut sebagai daerah aliran sungai (DAS). Wilayah DAS dimulai dari mata air di pegunungan sampai muara di laut. Kesatuan wilayah DAS tak dapat dipisahkan oleh batas administratif.

 Hal yang terjadi atas satu bagian DAS akan membawa akibat bagi lainnya. Ibarat satu tubuh, bila kaki sakit, bagian yang lain juga merasakan dampaknya. Banjir di daerah hilir merupakan akibat kekurangtepatan pengelolaan seluruh wilayah DAS. Jadi, istilah banjir kiriman sangat keliru. Banjir di Jakarta bukanlah kiriman dari Bogor, karena dua daerah itu masih dalam satu wilayah DAS Ciliwung-Cisadane.

Sayangnya, pengelolaan DAS justru dilakukan secara parsial. Setiap daerah hanya mengurusi bagian dalam wilayah administrasi masing-masing. Tidak ada sinkronisasi pengelolaan antara wilayah hulu, tengah, dan hilir.

Tiada Hutan

Pengelolaan wilayah berjalan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Alih fungsi kawasan lindung pun dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlangsungan DAS. Hampir tak ada lagi hutan di sepanjang DAS.
Sebaliknya, pertanian, permukiman, dan industri tumbuh subur di wilayah tersebut. Akibatnya, daya serap tanah atas air hujan menurun, bahkan hampir semuanya dikirim kembali ke laut tanpa penyerapan.Kondisi itu membuat banjir dan longsor akan terus mengancam di masa mendatang.

Banyak pula kerugian lain yang harus kita tanggung. Pertama, keseimbangan air tak tercapai. Konsekuensinya, kebutuhan air harus dipenuhi dari sumber lain di luar air tanah dan permukaan. Kedua banjir dan longsor mengakibatkan erosi, penipisan top soil, dan sedimentasi di waduk serta sungai. Daya dukung air untuk pertanian juga berkurang. Akhirnya, terjadi penurunan produktivitas lahan.  Sebagian besar DAS di Indonesia sudah mengalami disfungsi tersebut.
Menurut data Departemen Kehutanan, 116 DAS dari 141 DAS di Pulau Jawa dalam kondisi kritis. Sebanyak 16 DAS termasuk dalam kategori I atau sangat kritis sehingga memerlukan penanganan serius dan segera. Seratus lainnya masuk kategori II atau bila terlambat direhabilitasi akan bertambah rusak. Kondisi DAS di luar Jawa tak jauh berbeda. Sebanyak 175 dari 326 DAS rusak. 

Fungsi DAS

Fungsi wilayah sekitar DAS harus dikembalikan sebagai kawasan lindung (hutan). Kondisi ekologis dan tata guna lahan harus ditinjau ulang. Memang agak sulit mengubah tata guna lahan yang telanjur menjadi kawasan pertanian, permukiman, dan industri. Apalagi pengelolanya terkotak-kotak dengan alasan desentralisasi dan kewenangan daerah. Konversi lahan agar pendapatan daerah terdongkrak pun tak terhindarkan.

Paradigma semacam itu telah berlangsung bertahun-tahun, dan sekarang kita menuai hasilnya (banjir, krisis air, dan longsor). Namun, para pengambil kebijakan tak juga bertindak untuk mengatasi akar permasalahannya. Dari tahun ke tahun, kerusakan justru semakin parah.

Untuk mengembalikan fungsi DAS, pengelolaannya tidak bisa dilakukan secara parsial, namun harus terpadu dari hulu ke hilir. Sebenarnya, ada solusi yang bisa menguntungkan semua pihak, yaitu melalui sistem kompensasi.
Cara yang paling sederhana adalah dengan penerapan kompensasi pemanfaatan air. Daerah hilir sebagai pemanfaat air membayar sejumlah kompensasi kepada daerah hulu. Dengan demikian, daerah hulu mau memerankan fungsinya sebagai penjaga lingkungan.

Model pengelolaan tersebut sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang mengikat semua daerah. Namun, harus ada pengawalan berkait dengan kepastian pelaksanaan aturan tersebut.

Hal lain yang mungkin dilupakan adalah soal penghitungan nilai air itu sendiri. Sebab, air kini hanya dinilai dari wujudnya. Harga air belum dikaitkan dengan jasa perawatan wilayah tangkapan air.

Memang, jika itu diterapkan, harga air akan menjadi  sangat mahal sekaligus murah. Mahal jika dilihat dari nominalnya, tetapi murah jika dilihat daerah hilir tak akan ”kehilangan” lagi kekayaannya akibat longsor, sedimentasi, dan banjir. Terlebih, harga itu menjadi pantas karena daerah hulu wajib menjaga kawasannya agar tidak berubah, sehingga fungsi DAS tetap terjamin.
Memang tidak mudah untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang ideal semacam itu. Diperlukan kesungguhan semua daerah yang masuk dalam satu wilayah DAS. Juga perlu kerja keras dan ”pengorbanan”.

Maukah setiap daerah mengesampingkan kepentingan masing-masing demi keberlangsungan fungsi DAS? Menyingkirkan egoisme kewilayahan dan bergandengan tangan atas nama kepentingan serta keuntungan bersama?
 
dimuat di Suara Merdeka  tanggal 14 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar