EKOLOGI versus tren pasar memang menimbulkan gejolak, dan hingga
kini belum terselesaikan. Kepentingan yang lebih mendesak seperti air,
udara sehat, dan kehidupan sehat, sering terabaikan. Sebab secara riil,
meski penting dan harus didapatkan setiap hari, barang-barang itu merupakan
benda bebas nilai yang bisa serta berhak dimiliki oleh siapa pun.
Berbeda dari hutan penghasil kayu -meski tidak setiap saat orang membutuhkannya-
nilai ekonomis melekat bersamanya. Konstalasi rasa dalam pemanfaatan barang
tersebut, berdasarkan penelitian Green Peace Asia Tenggara, membuat 2,8
juta hektare hutan kita raib setiap tahun demi pemenuhan kebutuhan pasar.
Kini, saat tren pasar mulai beralih kepada kebutuhan dasar seperti
udara sehat dan air bersih, dunia pun beramai-ramai menetapkan dan memopulerkan
berbagai aturan berkait dengan pola pemanfaatan dan faktor pelestari barang-barang
tersebut.
Tentu, dunia akan berbicara tentang hutan sebagai sumber daya yang
bisa mempertahankan kelangsungan suplai air dan udara bersih. Inti permasalahannya,
bagaimana hutan bisa selamat agar air dan udara yang ternyata memiliki
nilai ekonomis jauh lebih tinggi dari hutan juga terselamatkan.
Namun sayang, belum ada kesepakatan yang jelas mengenai status dari
barang-barang tersebut. Hingga sekarang, keduanya -terutama air- sangat
terikat erat dengan agraria. Akibatnya, saat ini air dan udara yang seharusnya
bebas nilai, kembali dipertanyakan oleh berbagai pihak.
Sebab, bebas nilai barang-barang tersebut sekarang bisa terpasung oleh
rekayasa, baik berupa penguasaan lahan, pembuatan jaringan atau alat, maupun
perundang-undangan. Meski demikian, untuk bisa memanfaatan air serta udara,
dibutuhkan modal yang tidak sedikit.
Itu pun baru sebatas "kemasannya". Padahal untuk mengembalikan
atau menjaga keberlangsungan sumber daya, biaya besar harus dikeluarkan
untuk menyelamatkan hutan.
Tren pasar yang kini menuntut kestabilan ekologi baik berupa kepastian
suplai air bagi pemenuhan hidup maupun udara bersih demi hidup sehat seluruh
umat manusia, membuat Indonesia menjadi sorotan dunia, terutama berkait
dengan pengelolaan hutan.
Tuntutan atas keberlangsungan ekosistem hutan tropis -yang akhirnya
berbuntut pada pemenuhan kebutuhan pasar akan air dan udara- mendorong
beberapa negara di dunia membuat berbagai aturan agar hutan tropis Indonesia
tetap terjaga. Salah satunya, dengan label produk lestari atas segala bentuk
hasil hutan. Mereka adalah negara-negara yang secara ekonomi menguasai
pasar dunia.
Namun sayang, sering terjadi pemberlakuan kebijakan ganda atas aturan-aturan
itu. Banyak negara yang lolos dan bisa bermain bebas atas hasil hutan tanpa
terbendung oleh aturan sertifikasi hutan lestari -China misalnya- karena
negara-negara pemain pasar dunia itu memiliki kepentingan perdagangan yang
lebih besar dengan negara yang dimaksud.
Di sisi lain, negara kita juga belum mendapatkan manfaat langsung dari
upaya mempertahankan keutuhan ekosistem hutan. Misalnya masalah udara bersih
sebagai salah satu hasil hutan. Produk itu bebas dan tak terikat oleh ruang/batas
geografis negara, sehingga bisa dimanfaatkan oleh negara mana saja dan
oleh siapa saja. Akan tetapi, hanya negara pemilik hutan yang harus mati-matian
mempertahankan kondisi ekosistemnya. Bahkan mereka harus rela -dengan skema
label produk lestari- membatasi eksploitasi atas hutan.
Memang, ada skema yang bisa menguntungkan negara pemilik hutan sebagai
penghasil udara bersih lewat kemampuan alam mengurangi emisi karbon dunia.
Yakni lewat penjualan jasa lingkungan.
Akan tetapi, sudahkah hal itu dirasakan oleh Indonesia. Kembali lagi,
kelemahan dalam memasarkan dan memanajemen data, membuat negara kita belum
mendapatkan manfaat maksimal atas penjualan jasa lingkungan. Terlebih,
negara kita masih dicap sebagai negara yang lemah dalam mengelola hutan.
Sebagai bukti, perusakan hutan yang tidak kunjung berhenti. Melihat kondisi
tersebut, mau tidak mau kita harus mulai memperbaiki manajemen pengelolaan
hutan, sehingga bisa mendapat manfaat maksimal dari penjualan jasa lingkungan
dan mendapat keuntungan dari sumber daya air yang saat ini menjadi kebutuhan
mendesak bagi seluruh umat manusia di dunia.
dimuat di Suara Merdeka tanggal 6 Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar