Menengok Protokol Kyoto
KELANGSUNGAN hidup bumi yang saat ini masih menjadi satu-satunya
planet tempat manusia tinggal, semakin memprihatinkan. Krisis air, polusi,
pembalakan liar, dan pemanasan global, mengadang di depan mata. Karena
itu, masih relevan dengan perayaan Hari Bumi, tak ada salahnya kita menengok
kembali Protokol Kyoto.
Semangat mengurangi polusi dan memperbaiki lingkungan yang lahir pada
1997 lewat konvensi negara-negara dunia di Kyoto tersebut merupakan langkah
maju bagi peradaban umat manusia. Dilandasi dengan keinginan untuk mengubah
laju pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada penggunaan sumber energi/bahan
bakar fosil menuju penggunaan bahan bakar yang terbarukan, Protokol Kyoto
mencoba membawa kita keluar dari ancaman kehancuran dunia.
Menurut para ilmuwan badan ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPPC)
yang dirilis 2001, langkah itu akan membawa umat manusia menuju hidup bersih,
sehat, dan berkualitas. Namun realitas yang terjadi akhir-akhir ini justru
semakin memprihatinkan. Minyak bumi yang berbasis fosil ternyata masih
menjadi primadona dan alat politik negara-negara adidaya untuk menghambat
pencarian dan upaya penggunaan energi alternatif pengganti minyak.
Padahal, dampak penggunaan energi minyak yang berbasis fosil itu sudah
sangat terasa. Perubahan iklim yang tak menentu, peningkatan panas global
mencapai 3-4 derajat celcius dalam seratus tahun, dan naiknya permukaan
air laut, sudah di depan mata. Diprediksi, dalam 40-50 tahun ke depan banyak
pulau-pulau kecil di dunia bakal tenggelam.
Melihat perkembangan kondisi lingkungan, perang, dan krisis yang berkepanjangan
itu, perlu kiranya kita menengok kembali Protokol Kyoto. Sebab, konvensi
yang telah diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia itu sangat
besar manfaatnya, terutama bagi negara-negara berkembang atau negara dunia
ke tiga.
Protokol dengan garis besar tujuannya untuk menekan polusi sektor industri
menjadi serendah mungkin dan memberikan kompensasi bagi negara-negara dunia
ketiga ótermasuk Indonesiaó yang ikut menangggung kerusakan
lingkungan itu, sebenarnya merupakan solusi yang tepat untuk menanggulangi
kerusakan lingkungan secara global.
Jika skema itu berjalan, Indonesia dan negara-negara pemilik hutan
akan bersungguh-sungguh memelihara lingkungan. Pengembangan negara-negara
itu juga bisa berjalan dengan menjual jasa lingkungan kepada negara-negara
maju.
Tak Berjalan Mulus
Memang, konvesi yang bertujuan mulia itu tidak bisa berjalan
mulus, seperti halnya tujuan-tujuan baik lainnya. Terlebih kapitalisme
telah mendunia dan keuntungan menjadi hal di atas semuanya. Amerika sebagai
negara adidaya pun hingga kini menolak meratifikasi Protokol Kyoto.
"Tidak sesuai dengan gaya hidup kami," dalih mereka. Padahal,
jika dianalisis mendalam, negara itu hanya enggan mengeluarkan banyak dana
untuk memperbaharui teknologi-teknologi industri raksasa mereka agar ramah
lingkungan. Mereka juga enggan membayar jasa lingkungan kepada negara-negara
dunia ketiga.
Bagaimana dengan Indonesia?
Semangat Protokol Kyoto ternyata juga memengaruhi arah pembangunan negara
kita. Terlebih, krisis energi juga telah kita rasakan. Gebrakan pemerintah
lewat pengembangan energi alternatif seperti minyak jarak juga mulai didengungkan.
Namun sayang, seperti lagu lama, implementasi program tersebut tidak begitu
memuaskan. Perkembangan teknologi dan alternatif energi minyak jarak itu
masih jalan di tempat. Padahal tanpa sadar, komitmen itu sudah lama ditelorkan.
Selain jarak pagar, dilema dan kontroversi juga muncul berkait dengan
pengembangan nuklir untuk listrik. Lihat saja rencana pembangunan PLTN
di Semenanjung Muria yang telah dicetuskan sejak 1997. Hingga sekarang,
pembangunan PLTN itu masih menuai perdebatan. Seharusnya, segala perdebatan
itu tidak perlu muncul. Toh telah terbukti, putra-putra bangsa kita
mampu mengelola nuklir sebagai bahan baku listrik. Tengoklah reaktor nuklir
di ITB, UGM, atau di Serpong. Terlebih lagi, nuklir bakal mampu menutup
kekurangan energi untuk pembangunan. Energi itu juga bisa memberi jeda
kepada kita untuk mengembangkan alternatif lain yang lebih ramah lingkungan,
seperti minyak jarak, alkohol, dan minyak dari bahan kelapa.
Menjadi hal yang harus kita jawab bersama. Haruskah kita menjadi bangsa
yang mengikuti propaganda negara maju, padahal mereka sendiri enggan meratifikasi
Protokol Kyoto dan ingin menguasai teknologi nuklir untuk diri sendiri?
Maukah kita menatap ke depan dan melihat nasib generasi penerus hidup di
dunia yang lebih bersih dan sehat. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain,
kita harus menengok kembali Protokol Kyoto dan menjalankannya sesegera
mungkin
dimuat di Suara Merdekatanggal 26 April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar