Senin, 30 April 2007

Menengok Protokol Kyoto

KELANGSUNGAN hidup bumi yang saat ini masih menjadi satu-satunya planet tempat manusia tinggal, semakin memprihatinkan. Krisis air, polusi, pembalakan liar, dan pemanasan global, mengadang di depan mata. Karena itu, masih relevan dengan perayaan Hari Bumi, tak ada salahnya kita menengok kembali Protokol Kyoto.

Semangat mengurangi polusi dan memperbaiki lingkungan yang lahir pada 1997 lewat konvensi negara-negara dunia di Kyoto tersebut merupakan langkah maju bagi peradaban umat manusia. Dilandasi dengan keinginan untuk mengubah laju pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada penggunaan sumber energi/bahan bakar fosil menuju penggunaan bahan bakar yang terbarukan, Protokol Kyoto mencoba membawa kita keluar dari ancaman kehancuran dunia.
Menurut para ilmuwan badan ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPPC) yang dirilis 2001, langkah itu akan membawa umat manusia menuju hidup bersih, sehat, dan berkualitas. Namun realitas yang terjadi akhir-akhir ini justru semakin memprihatinkan. Minyak bumi yang berbasis fosil ternyata masih menjadi primadona dan alat politik negara-negara adidaya untuk menghambat pencarian dan upaya penggunaan energi alternatif pengganti minyak.

Padahal, dampak penggunaan energi minyak yang berbasis fosil itu sudah sangat terasa. Perubahan iklim yang tak menentu, peningkatan panas global mencapai 3-4 derajat celcius dalam seratus tahun, dan naiknya permukaan air laut, sudah di depan mata. Diprediksi, dalam 40-50 tahun ke depan banyak pulau-pulau kecil di dunia bakal tenggelam.

Melihat perkembangan kondisi lingkungan, perang, dan krisis yang berkepanjangan itu, perlu kiranya kita menengok kembali Protokol Kyoto. Sebab, konvensi yang telah diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia itu sangat besar manfaatnya, terutama bagi negara-negara berkembang atau negara dunia ke tiga.

Protokol dengan garis besar tujuannya untuk menekan polusi sektor industri menjadi serendah mungkin dan memberikan kompensasi bagi negara-negara dunia ketiga ótermasuk Indonesiaó yang ikut menangggung kerusakan lingkungan itu, sebenarnya merupakan solusi yang tepat untuk menanggulangi kerusakan lingkungan secara global.

Jika skema itu berjalan, Indonesia dan negara-negara pemilik hutan akan bersungguh-sungguh memelihara lingkungan. Pengembangan negara-negara itu juga bisa berjalan dengan menjual jasa lingkungan kepada negara-negara maju.

Tak Berjalan Mulus
 
Memang, konvesi yang bertujuan mulia itu tidak bisa berjalan mulus, seperti halnya tujuan-tujuan baik lainnya. Terlebih kapitalisme telah mendunia dan keuntungan menjadi hal di atas semuanya. Amerika sebagai negara adidaya pun hingga kini menolak meratifikasi Protokol Kyoto.
"Tidak sesuai dengan gaya hidup kami," dalih mereka. Padahal, jika dianalisis mendalam, negara itu hanya enggan mengeluarkan banyak dana untuk memperbaharui teknologi-teknologi industri raksasa mereka agar ramah lingkungan. Mereka juga enggan membayar jasa lingkungan kepada negara-negara dunia ketiga.
 
Bagaimana dengan Indonesia?

Semangat Protokol Kyoto ternyata juga memengaruhi arah pembangunan negara kita. Terlebih, krisis energi juga telah kita rasakan. Gebrakan pemerintah lewat pengembangan energi alternatif seperti minyak jarak juga mulai didengungkan. Namun sayang, seperti lagu lama, implementasi program tersebut tidak begitu memuaskan. Perkembangan teknologi dan alternatif energi minyak jarak itu masih jalan di tempat. Padahal tanpa sadar, komitmen itu sudah lama ditelorkan.

Selain jarak pagar, dilema dan kontroversi juga muncul berkait dengan pengembangan nuklir untuk listrik. Lihat saja rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria yang telah dicetuskan sejak 1997. Hingga sekarang, pembangunan PLTN itu masih menuai perdebatan. Seharusnya, segala perdebatan itu tidak perlu muncul. Toh telah terbukti, putra-putra bangsa kita mampu mengelola nuklir sebagai bahan baku listrik. Tengoklah reaktor nuklir di ITB, UGM, atau di Serpong. Terlebih lagi, nuklir bakal mampu menutup kekurangan energi untuk pembangunan. Energi itu juga bisa memberi jeda kepada kita untuk mengembangkan alternatif lain yang lebih ramah lingkungan, seperti minyak jarak, alkohol, dan minyak dari bahan kelapa.
 
Menjadi hal yang harus kita jawab bersama. Haruskah kita menjadi bangsa yang mengikuti propaganda negara maju, padahal mereka sendiri enggan meratifikasi Protokol Kyoto dan ingin menguasai teknologi nuklir untuk diri sendiri? Maukah kita menatap ke depan dan melihat nasib generasi penerus hidup di dunia yang lebih bersih dan sehat. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain, kita harus menengok kembali Protokol Kyoto dan menjalankannya sesegera mungkin
 
dimuat di  Suara Merdekatanggal 26 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar