VONIS bebas bagi PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan presiden
direkturnya (SM, 25/4) dari dakwaan pencemaran dan perusakan lingkungan
Teluk Buyat, tidak terlalu mengejutkan. Bahkan hal itu sudah bisa diprediksi
sebelumnya, terlebih jika melihat kinerja pemerintah dalam menangani kasus
tersebut.
Sejak penandatanganan perjanjian damai RI-Newmont awal tahun lalu di
kantor Menko Kesra berkait dengan pencabutan gugatan perdata dan kesedian
PT NMR membayar ganti rugi 30 juta dolar AS, sikap pemerintah semakin melunak.
Perjanjian itu juga membuat Newmont terbebas dari tuntutan perdata 117,68
juta dolar AS sebagai ganti rugi material dan Rp 150 miliar untuk kerugian
immaterial.
Pernyataan KLH yang berubah-ubah sudah mengindikasikan ketidakmampuan
pemerintah untuk mengungkap ketidakadilan bagi warga Teluk Buyat dan lingkungan
hidup. Terlebih pascaperjanjian itu, Abu Rizal Bakrie menyatakan bahwa
pemerintah belum tentu menang jika tuntutan dilanjutkan.
Kelemahan dan ketidakseriusan pemerintah yang kedua juga terlihat lewat
alasan yang membuat PT NMR dan presiden direkturnya lepas dari jerat hukum
pidana. Yakni data pencemaran yang diajukan jaksa penuntut umum berbeda
dari data penelitian lainnya.
Kita tentu masih ingat tragedi Buyat yang mencuat beberapa tahun silam,
tetapi saat ini kembali tenggelam oleh berbagai kasus lingkungan dan musibah
lainnya. Sebanyak 266 warga Buyat Pante terpaksa meninggalkan kampung halaman
dan pindah ke permukiman baru Duminaga. Sebab setelah PT NMR membuat pipa
sepanjang 10 km dan membuang limbah ke Teluk Buyat, tempat tinggal mereka
berubah seperti kawasan penampung limbah. Warga terserang bermacam penyakit
seperti TBC, ISPA, lipoma, demetitis, dan cepholgia.
Lebih sayang lagi, pemerintah tidak mampu atau tidak mau membuktikan
pencemaran itu dengan data yang akurat. Yang tersisa tinggal penderitaan
rakyat kecil dan kerusakan lingkungan hidup di balik gemerlapnya industri
pertambangan.
Tentu, itu semua tidak terlepas dari lemahnya penegakan UU 23/1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau lazim disebut UULH. Memang benar
bahwa sengketa lingkungan berkait dengan kerugian perdata bisa diselesaikan
lewat jalur di luar pengadilan. Dalam kasus Newmont, berdasarkan Pasal
30-33 UULH, pemerintah dan pihak yang bersangkutan bisa melakukan negosiasi
berkait dengan pelaksanaan ganti rugi yang akhirnya keluar nilai 30 juta
dolar AS. Namun berdasarkan pasal-pasal tersebut pula, ganti rugi tidak
serta-merta mengubah atau memengaruhi proses hukum pidananya. Apalagi,
fakta di lapangan menujukkan bahwa aktivitas pembuangan limbah oleh PT
NMR telah mengakibatkan kerusakan sangat fatal di Teluk Buyat. Bahkan telah
jatuh korban jiwa.
Seharusnya, pemerintah lewat lembaga peradilan bersungguh-sungguh menangani
kasus tersebut. Terlebih, nilai ganti rugi 30 juta dolar AS bagi PT NMR
yang menguasai tambang emas itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Bagi mereka,
mungkin nilai ganti rugi itu hanya nol koma sekian persen dari keuntungan
yang bisa diperoleh. Karena itu, agar pencemaran tidak terulang kembali
dan demi kedaulatan negara, penegakan Pasal 40 berkait dengan ancaman pidana
10 tahun penjara bagi pencemaran yang tidak mengakibatkan korban jiwa dan
15 tahun jika pencemaran sangat parah dan muncul korban jiwa, harus benar-benar
dijalankan. Pidana itulah, yang bakal membuat semua pihak jera atau takut,
minimal berhati-hati dalam mengeksploitasi lingkungan.
Instrumen penegakan hukum yang kita miliki sebenarnya sudah cukup. Namun
kembali lagi, maukah kita bersungguh-sungguh melaksanakannya. Tentu jika
mau, kasus Newmont, Freeport, dan yang terbaru Lapindo Brantas, tidak akan
terjadi. Jika itu terus berlanjut, mitos bahwa negara kita adalah negara
sejuta bencana, semakin menjadi kenyataan. Yang lebih parah lagi, sektor
ekonomi lain seperti perikanan laut justru akan semakin terpuruk.
Bila kita mengacu Pasal 33 UUD 45 yang menyebutkan bahwa sumber daya
alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tentu akan
muncul pertanyaan, sudahkah amanah itu terwujud? Kita tidak perlu menggunakan
indikator yang terlalu rumit. Masyarakat sekitar yang tinggal di lokasi
suatu sumber daya alam merupakan indikator yang paling mudah. Apakah mereka
bisa hidup sejahtera dengan pengeksploitasian sumber daya alam itu atau
justru harus terusir, menderita, serta hidup dalam kemiskinan dan pencemaran.
Jika mereka saja tidak makmur, bagaimana mungkin eksploitasi sumber daya
alam itu bisa menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia?
dimuat di Suara Merdeka tanggal 2 Mei 2007
dimuat di Suara Merdeka tanggal 2 Mei 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar