Jumat, 13 April 2007

Perda Pengelolaan Hutan


MENGHADAPI kerusakan hutan secara nasional, Pemerintah Pusat lewat UU Kehutanan mengeluarkan skema social forestry yang memiliki lebih dari 21 model untuk mengembalikan fungsi hutan. Namun semuanya tetap mengacu pada satu semangat, hutan lestari masyarakat mukti. Salah satu model yang dipilih Jawa Tengah adalah pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Namun bagaimana implementasinya?

Dalam Gelar Potensi dan Gelar LMDH I di Jombang Jawa Timur, 25-28 Desember 2008, perwakilan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) Jateng melancarkan aksi protes atas pelaksanaan PHBM. Mereka menganggap pelaksanaannya masih setengah-setengah. Kecemburuan mereka terhadap LMDH Jawa Timur dan Jawa Barat memang pantas muncul. Sebab, perhatian semua pihak, baik Perhutani maupun pemerintah daerah begitu besar. 

PHBM di Jateng memang masih sangat bergantung terhadap tokoh atau pemimpin suatu kawasan, baik itu bupati dan Adm-nya. Penafsiran yang berbeda-beda itu membuat PHBM berjalan lambat. Berbagai masalah pun muncul, termasuk pembagian andil yang tidak seimbang dan membuat beberapa pihak dirugikan. 

Jika dirunut, masalah itu muncul karena ketidakjelasan aturan yang menaungi PHBM. Keputusan Gubernur No 24/2001 dan Keputusan Kepala Unit I No 2142/KPTS/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan PHBM, tidak menjabarkan secara jelas dan terukur terkait berbagai aturan tentang berbagi peran dan hasil. 

Salah satunya terkait faktor produksi. Dalam kedua aturan itu hanya disebutkan pengertian umum sehingga timbul multitafsir dan kekacauan pada pelaksanaannya. Bahkan dalam keputusan Kepala Unit Bab VII Pasal 10 poin 2b hanya disebutkan "memberikan kontribusi faktor produksi sesuai kemampuannya". Dengan demikian kedua aturan itu tidak menjelaskan hal-hal apa yang harus diberikan masing-masing pihak secara jelas dan hak-hak apa yang bakal diperoleh. Begitu juga peran pemerintah daerah. 

Di sana hanya disebutkan sebagai anggota forum komunikasi dan berhak atas bagian dari pajak bumi dan bangunan (PBB) serta provisi sumber daya hutan (PSDH). Namun terkait kewajiban, hanya disebutkan secara umum. Akibatnya, program yang dijalankan pemerintah daerah kurang maksimal. Koordinasi pemerintah daerah dengan Perhutani hanya intens saat penebangan. Karena itu wajar jika Jawa Tengah dengan PHBM-nya belum memperlihatkan hasil memuaskan, meskipun telah berjalan 6 tahun. Banyak hutan yang hingga kini masih gundul dan memendam konflik. 

Melihat kondisi itu, beberapa waktu lalu, Gubernur Mardiyanto mengumpulkan berbagai pihak terkait . Gubernur pun melontarkan wacana penyusunan Perda PHBM. Dengan tujuan, perhatian berbagai pihak atas masyarakat desa hutan semakin meningkat dan tujuan utama PHBM yakni hutan lestari masyarakat mukti bisa terwujud.

Perlukan Perda PHBM?

Jawabannya bisa ya atau tidak. Dianggap tidak perlu jika nantinya perda hanya duplikasi atau sama persis dengan aturan sebelumnya. Yakni Keputusan Gubernur No 24/2001 dan Keputusan Kepala Unit I No 2142/KPTS/2002. 

Namun Perda PHBM menjadi sangat diperlukan jika bisa memberi kejelasan tentang peran semua pihak. Ada beberapa hal yang harus dijabarkan secara jelas dalam perda. Misalnya, faktor produksi yang wajib dikeluarkan Perhutani, baik itu berupa lahan, bibit, pupuk, ongkos penanaman, hingga pemanenan. Perda juga memberikan patokan jelas tentang besaran biaya. 

Di sisi petani juga harus dijelaskan apa-apa yang harus mereka berikan, seperti keterlibatan penuh dalam semua proses. Untuk pemda, perda mengharuskan ada program nyata yang disusun bersama Perhutani dan LMDH. Jika perlu ada alokasi nyata dalam APBD. 

Terkait hak, juga disebutkan persentase bagi hasil tebangan bagi Perhutani, LMDH, dan pemerintah daerah (lewat PBB dan PSDH). Sebab bagi hasil sekarang nagi LMDH dengan rumus Masa Andil : Umur Kayu x 25%, sangat merugikan. Rumus itu membuat mereka hanya menerima 1-2% dari total tebangan. Bisa dikatakan aturan kurang adil dan hanya berlaku surut bagi LMDH. Sedangkan bagi hasil bagi kedua instansi itu tidak terkena pembagian umur kayu. Padahal, masyarakat desa hutan telah ikut membangun hutan jauh sebelum Perhutani lahir. 

Masalah lain yang harus ditegaskan adalah masa kerja sama selama daur hidup tanaman pokok, semua kegiatan harus dilakukan bersama, dan pemetaan yang jelas sehingga pesanggem yang tergabung dalam LMDH mengetahui persis petak per petak tanggung jawabnya. Dengan demikian, masalah seperti konflik antarwarga karena Perhutani "memperkerjakan" pihak lain, bisa dihindari. Dengan sistem ini, pengawasan dan jalur tanggung jawab menjadi jelas. Tanaman pokok pun akan terjaga. 

Hal itulah yang akan sangat memengaruhi keberhasilan PHBM dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Jika itu ada terjabar dengan jelas dalam Perda PHBM, niscaya hutan lestari masyarakat mukti akan cepat terwujud.
 
dimuat di Suara Merdeka tanggal 9 April 2007
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar