MENGHADAPI kerusakan hutan secara nasional, Pemerintah Pusat
lewat UU Kehutanan mengeluarkan skema social forestry yang memiliki
lebih dari 21 model untuk mengembalikan fungsi hutan. Namun semuanya tetap
mengacu pada satu semangat, hutan lestari masyarakat mukti. Salah satu
model yang dipilih Jawa Tengah adalah pengelolaan hutan bersama masyarakat
(PHBM). Namun bagaimana implementasinya?
Dalam Gelar Potensi dan Gelar LMDH I di Jombang Jawa Timur, 25-28 Desember
2008, perwakilan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) Jateng melancarkan
aksi protes atas pelaksanaan PHBM. Mereka menganggap pelaksanaannya masih
setengah-setengah. Kecemburuan mereka terhadap LMDH Jawa Timur dan Jawa
Barat memang pantas muncul. Sebab, perhatian semua pihak, baik Perhutani
maupun pemerintah daerah begitu besar.
PHBM di Jateng memang masih sangat bergantung terhadap tokoh atau pemimpin
suatu kawasan, baik itu bupati dan Adm-nya. Penafsiran yang berbeda-beda
itu membuat PHBM berjalan lambat. Berbagai masalah pun muncul, termasuk
pembagian andil yang tidak seimbang dan membuat beberapa pihak dirugikan.
Jika dirunut, masalah itu muncul karena ketidakjelasan aturan yang menaungi
PHBM. Keputusan Gubernur No 24/2001 dan Keputusan Kepala Unit I No 2142/KPTS/2002
tentang Petunjuk Pelaksanaan PHBM, tidak menjabarkan secara jelas dan terukur
terkait berbagai aturan tentang berbagi peran dan hasil.
Salah satunya terkait faktor produksi. Dalam kedua aturan itu hanya
disebutkan pengertian umum sehingga timbul multitafsir dan kekacauan pada
pelaksanaannya. Bahkan dalam keputusan Kepala Unit Bab VII Pasal 10 poin
2b hanya disebutkan "memberikan kontribusi faktor produksi sesuai
kemampuannya". Dengan demikian kedua aturan itu tidak menjelaskan
hal-hal apa yang harus diberikan masing-masing pihak secara jelas dan hak-hak
apa yang bakal diperoleh. Begitu juga peran pemerintah daerah.
Di sana hanya disebutkan sebagai anggota forum komunikasi dan berhak
atas bagian dari pajak bumi dan bangunan (PBB) serta provisi sumber daya
hutan (PSDH). Namun terkait kewajiban, hanya disebutkan secara umum. Akibatnya,
program yang dijalankan pemerintah daerah kurang maksimal. Koordinasi pemerintah
daerah dengan Perhutani hanya intens saat penebangan. Karena itu wajar
jika Jawa Tengah dengan PHBM-nya belum memperlihatkan hasil memuaskan,
meskipun telah berjalan 6 tahun. Banyak hutan yang hingga kini masih gundul
dan memendam konflik.
Melihat kondisi itu, beberapa waktu lalu, Gubernur Mardiyanto mengumpulkan
berbagai pihak terkait . Gubernur pun melontarkan wacana penyusunan Perda
PHBM. Dengan tujuan, perhatian berbagai pihak atas masyarakat desa hutan
semakin meningkat dan tujuan utama PHBM yakni hutan lestari masyarakat
mukti bisa terwujud.
Perlukan Perda PHBM?
Jawabannya bisa ya atau tidak. Dianggap tidak perlu jika nantinya perda
hanya duplikasi atau sama persis dengan aturan sebelumnya. Yakni Keputusan
Gubernur No 24/2001 dan Keputusan Kepala Unit I No 2142/KPTS/2002.
Namun Perda PHBM menjadi sangat diperlukan jika bisa memberi kejelasan
tentang peran semua pihak. Ada beberapa hal yang harus dijabarkan secara
jelas dalam perda. Misalnya, faktor produksi yang wajib dikeluarkan Perhutani,
baik itu berupa lahan, bibit, pupuk, ongkos penanaman, hingga pemanenan.
Perda juga memberikan patokan jelas tentang besaran biaya.
Di sisi petani juga harus dijelaskan apa-apa yang harus mereka berikan,
seperti keterlibatan penuh dalam semua proses. Untuk pemda, perda mengharuskan
ada program nyata yang disusun bersama Perhutani dan LMDH. Jika perlu ada
alokasi nyata dalam APBD.
Terkait hak, juga disebutkan persentase bagi hasil tebangan bagi Perhutani,
LMDH, dan pemerintah daerah (lewat PBB dan PSDH). Sebab bagi hasil sekarang
nagi LMDH dengan rumus Masa Andil : Umur Kayu x 25%, sangat merugikan.
Rumus itu membuat mereka hanya menerima 1-2% dari total tebangan. Bisa
dikatakan aturan kurang adil dan hanya berlaku surut bagi LMDH. Sedangkan
bagi hasil bagi kedua instansi itu tidak terkena pembagian umur kayu. Padahal,
masyarakat desa hutan telah ikut membangun hutan jauh sebelum Perhutani
lahir.
Masalah lain yang harus ditegaskan adalah masa kerja sama selama daur
hidup tanaman pokok, semua kegiatan harus dilakukan bersama, dan pemetaan
yang jelas sehingga pesanggem yang tergabung dalam LMDH mengetahui persis
petak per petak tanggung jawabnya. Dengan demikian, masalah seperti konflik
antarwarga karena Perhutani "memperkerjakan" pihak lain, bisa
dihindari. Dengan sistem ini, pengawasan dan jalur tanggung jawab menjadi
jelas. Tanaman pokok pun akan terjaga.
Hal itulah yang akan sangat memengaruhi keberhasilan PHBM dan bisa meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa hutan. Jika itu ada terjabar dengan jelas
dalam Perda PHBM, niscaya hutan lestari masyarakat mukti akan cepat terwujud.
dimuat di Suara Merdeka tanggal 9 April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar